Minggu, 03 Juni 2012

Konsep Perubahan Pelayanan


Slide Presentasi Operasionalisasi Pelayanan Prima
Download jo di sini:

Reformasi birokrasi di Indonesia diarahkan pada perubahan dalam pelayanan kepada masyarakat, termasuk di dalamnya aparat yang dalam struktur organisasi birokrasi. Perubahan masyarakat diarahkan pada development. Karl Mannheim sebagaimana disitir oleh Susanto (1977) bahwa perubahan masyarakat adalah berkaitan dengan norma-normanya. Development adalah perkembangan yang tertuju pada kemajuan keadaan dan hidup anggota masyarakat, dimana kemajuan kehidupan ini akhirnya juga dinikmati oleh masyarakat.
Dengan demikian maka perubahan masyarakat dijadikan sebagai peningkatan martabat manusia, sehingga hakekatnya perubahan masyarakat berkait erat dengan kemajuan masyarakat. Dilihat dari aspek perkembangan masyarakat tersebut maka terjadilah keseimbangan antara tuntutan ekonomi, politik, sosial dan hukum, keseimbangan antara hak dan kewajiban, serta konsensus antara prinsip-prinsip dalam masyarakat.
Istilah efektivitas dan efisiensi merupakan konsep engineering yang diadaptasi dari sector privat, yang kemudian dalam perkembangannya diterapkan dalam sektor publik yakni pemerintah. Apabila membicarakan efektivitas dan efisiensi maka harus dihubungkan dengan sasaran dan tujuan yang ingin dicapai dari kegiatan tersebut. Dalam pelayanan publik apabila kedua hal diperbandingkan maka efektivitas jauh lebih penting dari efisiensi. Akan tetapi walaupun pelayanan publik lebih menekankan efektivitas daripada efeisiensi, dalam tataran praktis konsep efektivitas tidak dapat dipisahkan dari konsep efisiensi. Unsur efisiensi adalah salah satu determinan untuk mengetahui apakah suatu kegiatan bisa dikategorikan efektif atau tidak sebagaimana pendekatan ketiga.
Sementara itu Birokrasi diartikan sebagai kekuasaan atau pengaruh dari para kepala dan staf biro pemerintah. Dalam pengertian selanjutnya birokrasi adalah pegawai pemerintah, yang menjalankan dan menyelenggarakan tugas yang ditentukan oleh konstitusi, menjalankan program pembangunan, pelayanan publik, dan penerapan kebijakan pemerintah, yang biasanya disebut pegawai Sipil. Dalam hal di Indonesia lebih dikenal dengan istiah Aparatur Pemerintah. Aparatur pemerintah adalah orang-orang yang dipercaya dan diberi mandat oleh negara dan rakyat untuk mengelola pemerintahannya guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian maka efektivitasnya harus diukur berdasarkan sejauh mana kemampuan pemerintah meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya, dan ukurannya antara lain adalah seberapa tinggi tingkat pelayanan kepada masyarakat baik dibidang kesehatan, pendidikan dan lainnya (Gaspersz, 2002).
Segala bentuk upaya pemerintah dalam mengeluarkan produk kebijakannya semata-mata dimaknai sebagai manifestasi dari fungsi melayani orang banyak. Walaupun persepsi ini mengandung titik–titik kelemahan, namun sampai saat ini pemerintah yang diwakili oleh institusi birokrasi tetap saja diakui sebagai motor penggerak pembangunan. Pemaknaan birokrasi sebagai organ pelayanan bagi masyarakat luas tentu merupakan pemaknaan yang bersifat idealis, dan pemaknaan ideal terhadap fungsi pelayanan yang diperankan birokrasi tidaklah bisa menjelaskan  orientasi birokrasi.
Pola patron-client yang kental menjadikan ciri birokrasi menjadi berdampak mematikan inisiatif masyarakat, kualitas pelayanan masyarakat menjadi tidak efisien, karena praktek birokrasi yang terlalu hirearkis sehingga keputusan selalu ada di pejabat atas. Hal ini akan berakibat juga kreativitas, inisiatif dan sikap kemandirian birokrasi dalam memberikan pelayanan menjadi kurang, sehingga pelayanan dinilai oleh masyarakat menjadi lamban dan berbelit-belit. Segi yang lain terjadilah pelayanan yang high cost karena agar cepat client diwajibkan untuk memenuhi persyaratan-persyaratan yang sengaja dibuat agar menyulitkan pelanggan (Rozi, 2006). 
Birokrasi di Indonesia masih tampak menjaga jarak sosial (social distance) yang terlalu jauh dengan kelompok sasarannya yakni publik dan pengguna jasa layanan, sehingga rakyat nyaris dalam situasi yang tidak berdaya (powerless) dan tidak memiliki pilihan (Tjokrowinoto, 2001). Dengan kondisi yang demikian itulah maka penerapan organisasi pelayanan publik yang berorientasi pada kemanusiaan akan sulit dilakukan. Budaya dasar birokrasi lebih banyak bersandar pada etos feodalisme.
Lalu pertanyaanya bagaimana upaya yang dilakukan agar birokrasi mampu melaksanakan misi utama yakni memberikan pelayanan secara efektif dan efisien kepada masyarakat. Jawabannya harus dengan melakukan perubahan atau reformasi, bukan saja terbatas pada proses dan prosedur, tetapi juga mengaitkan perubahan pada tingkat struktur, sikap dan tingkah laku/etika (the ethics being). Upaya reformasi yang berkaitan dengan proses dan prosedur relatif lebih mudah dilakukan, karena sebagian besar berkait dengan proses adminiistrasi, akan tetapi yang lebih fundamental adalah bagaimana melakukan perubahan sikap dan perilaku (the ethics being), sehingga birokrasi sebagai mesin pemerintah dapat berjalan dengan baik menuju ke  tujuan yakni meningkatnya kesejahteraan masyarakat tanpa melakukan hal-hal yang tidak baik yang bertentangan dengan moral dan etika.
Dimensi etika berkaitan dengan skill based issues yang selama ini kurang tersentuh sebagai wacana perubahan. Terlebih di Indonesia dimana masyarakatnya adalah masyarakat paternalistik yang banyak bergantung pada dimensi para pemimpin sebagai panutan, termasuk didalamya dalam melakukan tugas penyelenggaraan negara. Dalam konteks ini etika merupakan nilai-nilai moral yang mengikat seseorang atau sekelompok orang dalam mengatur sikap, perilaku tindakan dan ucapannya dalam melaksanakan tugas, kewenangan dan fungsinya. Suatu profesi selalu memerlukan landasan etika yang menjadi acuan untuk bertindak anggotanya sehingga citra, kehormatan dan eksisitensinya terjaga. Pernyataan moral merupakan sesuatu yang normatif, pernyataan normatif berarti mengandung penilaian apa yang baik dan apa yang buruk.
Sebagaimana disitir dari Sunaryati Hartono, makna etika mengandung moral, keinginan untuk maju, semakin sejahtera dan semakin makmur dan hidup tertatur damai, sebagai perilaku, baik masyarakat dan negara. Oleh karenanya maka setiap penyelenggara negara harus berakhlak mulia, tepat janji, jujur, disiplin, adil, taat hukum, hati-hati dan cermat, sopan santun, dan kesetaraan. Untuk dapat melakukan itu maka perubahan cara berfikir birokrasi harus dilakukan. Perubahan etika ini akan berkaitan dengan perubahan budaya organisasinya yakni budaya yang diperlakukan sebagai sikap dan perilaku individu dan kelompok aparatur negara yang dilandasi oleh nilai-nilai yang diyakini kebenarannya dan telah menjadi sifat serta kebiasaan dalam melaksanakan tugas pekerjannya setiap hari. Pelaksanaan budaya kerja ini seharusnya dilakukan sebagai langkah awal dalam melaksanakan reformasi birokrasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar