Kamis, 26 April 2012

PRODUKTIFITAS BAHASA MELALUI TEKNIK ELISITASI DALAM PENGAJARAN BAHASA


PRODUKTIFITAS BAHASA MELALUI TEKNIK ELISITASI DALAM PENGAJARAN BAHASA
oleh: Harly Tangkilisan


1.   PENGANTAR
Manifestasi mengenai bahasa mempunyai sifat produktif menunjukkan bahasa itu dapat menghasilkan suatu yang kreatif. Oleh karena dengan bahasa kita dapat mengutarakan tentang apa saja yang mungkin terjadi atau yang tidak mungkin terjadi yang berlawanan dengan realita. Bahasa merupakan intuisi yang dapat menimbulkan pertentangan dari si pemberi informasi dan si penerima informasi. Bahasa juga menghasilkan emosional yang hampir tak hanya dapat diutarakan dengan bahasa verbal, sehingga dapat dikatakan mempengaruhi intuisi setiap insan untuk berbuat, bertindak, bekerja dan sebagainya.
            Dalam kehidupan keseharian kita memiliki frekuensi dalam mengutarakan kalimat-kalimat baru yang mungkin belum pernah ada sebelumnya. Ataupun tatkala kita mendengar kalimat orang lain yang mungkin belum pernah didengar membuat kita semakin liberal atau fulgar dalam berbahasa tentunya dengan tidak mengabaikan kaidah-kaidah berbahasanya.
            Produktifitas bahasa dalam hal berbicara ditunjukkan oleh munculnya kata-kata atau istilah-istilah baru. Tidak perlu dipermasalahkan apakah penciptaan kata baru itu adalah kombinasi dari bahasa si pembicara dengan bahasa asing, ataupun gabungan dua bagian kata atau lebih yang penting dapat dirterima, disetujui kebermaknaannya oleh pihak lain. Sifat arbiter ‘manasuka’ atau dalam bahasa Jepang disebut shiikei dari suatu bahasa mendukung manisfestasi produktifitas bahasa yang kreatif dan dinamis.
            Bukan untuk menciptakan insan-insan yang dapat menghasilkan istilah-istilah baru tersebut, namun bagaimana kita dapat menciptakan produktifitas berbahasa seseorang tatkala mempelajari bahasa diluar bahasa ibunya atau bahasa kedua. Belajar bahasa kedua tidak sekadar mendalami kemampuan menerima saja atau reseptif namun yang penting juga menciptakan sifat produktif bahasa yang dipelajari itu terutama kemampuan berbicara. Tentunya ada berbagai macam cara dalam menciptakan kemampuan berbicara yang efektif dan efisien. Fenomena ini pula menjadi bagian pembahasan dalam pengajaran bahasa di sekolah-sekolah bahasa.


2. ISI
            Berbicara mengenai teknik elisitasi berarti kita membahas mengenai kemampuan berbicara seseorang terhadap bahasa yang dipelajarinya. Teknik elisitasi sebagaimana yang diungkapkan oleh Parera bahwa, teknik elisitasi adalah teknik pancingan yaitu memancing para siswa untuk berbicara atau mempergunakan bentuk-bentuk bahasa tertentu. Nic Underhill lebih menegaskan lagi bahwa yang dimaksud dengan teknik elisitasi adalah cara bagaimana agar siswa itu bicara tanpa memberikan konsep yang telah tersusun rapih. Dari konsep ini dapat disimpulkan bahwa teknik elisitasi merupakan cara atau suatu penciptaan yang sifatnya produktif dalam hal berbicara. Mau tidak mau kualifikasi seorang guru sangat substansial dalam proses penciptaannya.
            Jika kita sebagai seorang guru, bagaimanakah kita harus berbuat agar sifat produktif dari bahasa (dalam pengajaran bahasa kedua) tak terabaikan. Nic Underhill dalam bukunya yang berjudul Testing Spoken Language, A Hanbook Of Oral Testing Technique memberikan gambaran mengenai teknik elisitasi itu sendiri sebagai salah satu cara penciptaan sifat produktif bahasa dalam hal berbicara. Kegiatan ini juga dapat dipakai untuk kepentingan pengetesan bahasa dalam kemampuan berbicara siswa dikelas maupun diluar kelas.
            Adapun teknik elisitasi yang dimaksudkan dalam pembahasan makalah ini adalah; conversation (percakapan), oral report (laporan lisan), role-play (bermain peran), interview (wawancara).
            Secara rinci keempat teknik elisitasi tersebut akan diuraikan sebagai berikut;
    
a.      Conversation (percakapan)
Dalam suatu diskusi atau percakapan, pewawancara memegang kontrol keseluruhan namun ia harus berkeinginan untuk memunculkan inisiatif siswa untuk membahasa topik baru atau mengendalikan percakapan. Akan lebih efektif bila topik yang dibahas dan arah pembiraan merupakan hasil interaksi antar orang yang terlibat dalam suatu negosiasi atau permukaan pembicaraan. Nada suara, titik nada dan intonasi, ekspresi muka serta bahasa tubuh berperan terhadap negosiasi diatas. Kesemuanya itu merupakan ciri khas percakapan alamiah yang membuat proses itu menjadi komunikatif dan otentik manakala kesemuanya itu berjalan baik.
Keberhasilan teknik ini sangat bergantung pada kemampuan pewawancara untuk menciptakan suasana yang kondusif dalam hal ini berkaitan dengan kepribadian manusia. Ini pun tidak mempunyai kaitan dengan pengujian konvensional. Merupakan tantangan tersendiri untuk menciptakan suasana yang baik dalam waktu yang pendek, begitupun merupakan tantangan bagi siswa untuk meresponnya. Ketika hal ini terjadi, tes mendadak berubah menjadi hubungan manusia, pertemuan antara dua orang. Biasanya hanya siswa dengan tingkat penguasaan bahasa yang tinggi yang akan merasa cukup percaya diri untuk memulai inisiatif suatu pembicaraan.
Mempunyai inisiatif bertanya, menyatakan ketidaksetujuan kesemuanya mensyaratkan perintah ciri khas bahasa tertentu. Ciri khas tersebut bisa dipelajari seperti halnya ciri khas bahasa lainnya. Tetapi ciri khas  tersebutjuga mensyratkan jenis kepribadian yang berkeinginan untuk melakukan suatu percakapan dimana anda tahu bahwa anda sedang dinilai. Dengan kata lain, suatu keinginan untuk mengambil resiko. Pengambilan resiko dapat digunakan sebagai strategi belajar bahasa sebagai bagian dari program untuk mendorong siswa dalam meningkatkan kemampuannya. Bagaimana pun juga seorang siswa hanya akan berupaya menerapkannya dalam sebuah tes jika ia sadar bahwa upayanya itu dianggap positif dan bukan suatu hukuman dalam proses belajar bahasa.
Naluri sebagian besar kita hanya berdiam diri, berbicara hanya sewaktu diperintahkan dan tidak pernah berusaha untuk melakukan sesuatu yang cerdas. Oleh karenanya, merupakan suatu petaka ketika suatu  diskusi atau percakapan seorang guru mrnghargai orang yang berkepribadian cerewet dan materias bukan menghargai orang yang sepatutnya agar senantiasa dia merasa percaya diri dan tidak enggan untuk berbicara sekalipun kemampuan berbeda dengan teman  yang lain.
Jika kita hendak memberikan inisiatif kepada kepada siswa dan berharap mereka akan mulai berprilaku normal dan berbeda. Banyak hal yang dapat dilakukan oleh pewawancara untuk keluar dari bias diatas agar menjadi sensitif mungkin terhadap perilaku dan kepribadian siswa. Salah satu rumus sederhana adalah jangan berbicara banyak, bersiaplah untuk menghilangkan jeda pendek atau masa diam yang panjang bagi siswa untukmemutuskan apa yang akan diungkapkannya, untuk memahami kata-kata atau untuk memancing keberanian mereka untuk berbicara.
   Variasi yang dapat dilakukan untuk teknik percakapan ini adalah dari segi waktu yaitu jangan merasa terpaku dengan waktu yang ditetapkan selama pembicaraan menarik. Tempat yaitu cobalah melaksanakan percakapan diluar kelas atau di tempat-tempat umum agar dapat terlihat suatu percakapan yang benar-benar alamiah tidak dibuat-buat.
   Pada dasarnya teknik ini amatlah kreatif namun cukup repot juga karena membutuhkan lebih dari dari satu orang pewawancara atau pengontrol. Dengan teknik ini seperti yang sudah teruraikan diatas bahwasannya akan terlihat suatu ciri khas percakapan yang benar-benar alamiah yang dapat kita temui dari nada suara, intonasi, ekspresi wajah, gesture atau bahasa nonverbal dan unsur-unsur lainnya.


b. Oral Report (laporan lisan)
  Dengan teknik ini siswa mempersiapkan dan melaksanakan presentasi lisan selama kira-kira sepuluh menit. Penggunaan alat-alat bantu sederhana seperti OHP, papan tulis dan lain-lainnya yang dapat digunakan dalam melakukan presentasi sangat dianjurkan selama alat bantu itu bernmanfaat. Pada akhir presentasi, presenter diharapkan menjawab sejumlah pertanyaan yang diberikan oleh para pendengar. Presentasi merupakan aktifitas yang komunikatif dan otentik baik untuk tujuan akademik maupun untuk profesional.
  Dalam prosedur tes formal, siswa melangsungkan presentasi secara langsung dihadapan pewawancara. Dalam situasi kurang formal, presentasi mini dapat dijadikan bagian rutin dari jadwal perkuliahan dan juga dapat diguanakan untuk kepentingan-kepentingan pengetesan. Setiap hari seorang siswa secara bergiliran melakukan presentasi dihadapan teman-temannya, yang lainnya diharapkan dapat mengajukan pertanyaan dan membahas permasalahan yang muncul dipermukaan pada akhir presentasi. Persentasi dalam situasi kurang formal ini dapat dilakukan sebagai  salah satu kepentingan agar siswa itu terbiasa dan manakala melangsungkan presentasi secara langsung dihadapan pewawancara  secara formal naluri ketegangan tak akan menjadi penghambat terjadinya aktifitas oral.
  Ketika prosedur ini dilangsungkan, seluruh aktifitas mulai dari perkenalan pembicara pada permulaan berlanjut ke presentasi dan sesi tanya jawab sampai pada sesi kesimpulan dapat ditangani oleh siswa tanpa intervensi pengajar. Presentasi ini dapat diterapkan untuk menilai atau untuk menganalisa kelas selanjutnya.
  Pemilihan topik memegang peranan penting dan harus disesuaikan dengan tujuan atau kebutuhan siswa dan setidaknya harus memuat informasi baru atau menuangkan sudut pandang baru. Ini tidak ditujukan agar hanya siswa sendiri yang tertarik atau bahkan tidak perlu digenaralisasikan bahwa pemilihan topik ini tidak mempunyai tujuan yang jelas, tidak lebih dari sekedar latihan berbahasa. Idealnya topik dipoilih oleh siswa dengan melakukan konsultasi kepada guru yang nantinya akan membantu menyesuaikan kemampuan siswa dengan tingkat kesulitan topik yang diberkan. Sebagian siswa akan merasa aman dan nyaman dengan topik yang mereka pilih atau topik yang mereka kenali, namun meskipun demikian bukan berarti mereka tidak harus mengenali atau memahami topik lain yang dipilih teman-temannya. Penilai harus hati-hati untuk mempertimbangkan, apakah topik itu sendiri merupakan topik yang rumit, terlepas dari kefasihan pembicaranya.
Ketika presentasi berlangsung, penilai harus mampu membangun, memberikan kesannya dengan memperhatikan dampak pembicara terhadap pendengar dalam hal pemahaman, reaksi dan pertanyaan yang diajukan pendengar.
Variasi yang dapat dilakukan dalam presentasi adalah mempersiapkan presentasi mini dengan waktu terbatras. Artinya dapat memberikan kesempatan kepada beberapa orang siswa dalam satu kali tatap muka. Mengidentifikasi topik personal tentang minat. Umumnya topik bersifat general namun harus dibentuk dalam frase sehingga dapat memotifasi siswa untuk mengungkapkan opini pada aspek tertentu dari topik tersebut.

     c. Role Play (bermain peran)
  Teknik ini berimplikasi pada sifat berpura-pura, yakni anda berusaha menjadi seorang yang benar-benar bukan anda.
  Dalam teknik ini siswa diminta untuk mengambil satu peran tertentu dan membayangkan dirinya dalam peran tersebut dalam situasi tertentu. Diapun harus berbicara dengan pewawanvcara dengan gaya atau cara yang sesuai dengan peran dan situasi yang ada.
  Siswa diberikan serangkaian perintah sebelum tes dilangsungkan dan dijelaskan dengan bahasa yang sederhana mengenai apa yang akan diinginkan. Perintahnya dapat dijelasakan dalam bentuk situasi umum.  Misalnya membayangkan bagaimana anda menjadi seorang turis aing di Jepang, dan anda ingin mengunjungi suatu tempat terkenal di Jepang katakanlah Tokyo Tower. Anda sedang berbicara dengan agen atau biro perjalanan, kemudian cari tahu bagaimana cara untuk bisa sampai kesana. Putuskan apa saja yang harus dilalui untuk pergi kesana.
  Uraian diatas merupakan sejenis instruksi yang mungkin dapat dibuat lebih spesifik sebagai suatu arahan kepada siswa agar dapat berbicara dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan kemampuan siswa. Kemampuan dalam mengajukan pertanyaan-pertanyaan sangatlah penting dalam aktifitas bermain drama ini.
  Apabila ada siswa yang tidak atau belum paham dengan bermain peran, maka prosedur dan tujuan harus dijelaskan sebelumnyadengan baik, dan instruksi untuk setiap drama harus dituangkan dalam tulisan. Jika perlu dalam bahasa ibu bila diperlukan. Apabila siswa ragu, penguji harus memastikan apakah ia memahami prosedur umum dan instruksi yang diberikan. Namun perlu diketahui bahwa bermain peran bukanlah tes pemahaman instruksi.
  Situasi bermain peran dapat digunakan untuk mengetes cara memerintah siswa dalam bahasa sosial secara umum atau untuk menggunakan jenis-jenis bahasa tertentu, misalnya mengeluh, bertanya, memberikan petunjuk.
  Situasi yang ditentukan untuk bermain peran bisa jadi sederhana atau bahkan rumit. Yang dimaksud denga situasi sederhana adalah stereotip kejadian kehidupan sehari-hari yang sering dialami siswa dengan mengsyaratkan penggunaan bahasa sehari-hari nichijokaiwa. Situasi yang rumit atau kompleks mempunyai ciri khas tambahan yakni tidak lazim, tidak biasanya dalam kehidupan kehidupan kesehariannya seperti menjadi seorang bisnisman mendapat tawaran atau kejutan mendadak, gangguan, wawancara kerja atau kecelakaan karena kadang teknik ini melibatkan tingkat keharusan terhadap peran. Itu artinya bahwa teknik bermain peran mengaharuskan orang dalam hal ini siswa untuk melakukan suatu peran yang mungkin tidak ia inginkan, sehingga bisa membuat siswa tersebut terjebak dalam peran yang tidak ia pahami mengakibatkan terjadinya ketidak efektifan suatu kominikasi.
  Variasi yang dapat dilakukan dalam kegiatan bermain peran ini salah satunya adalah untuk menghindari terjadinya efek, dimana pewawancara atau pengetes bermain peran dengan siswa memungkinkan terjadinya hambatan dikarenakan perbedaan psikologi dari kedua bela pihak seperti status, umur dan sebagainya maka pengetes dapat membuat suasana bermain peran antara siswa dengan siswa. Tentu saja pengetes memberikan instruksi kepada kedua siswa mengenai peran berbeda yang mereka terima. Pengetes tidak perlu terlibat dalam proses bermain drama selama masih berjalan lancar, siswa dipersilahkan untuk berimprofisasi terhadap peran yang diperolehnya.
  Dalam bermain peran atau suatu aktifitas berpura-pura penggunaan alat bantu sangat relevan agar benar-benar siswa itu dapat berperan sewajarnya.

     d. Interview (wawancara)
  Wawancara merupakan tes lisan yang paling umum digunakan oleh banyak orang. Wawancara hanyalah sejenis tes lisan, dan merupakan transaksi langsung antara siswa dengan pewawancara. Di dalam tes wawancara terdapat struktur yang telah ditentukan sebelumnya yang harus diikuti, namun masih memungkinkan tingkat kebebasan untuk mengungkapkan apa yang mereka pikiran. Teknik diskusi/percakapan dan tanya jawab dapat dikatakan juga sebagai teknik wawancara, karena di dalamnya ada aktifitas langsung dari pengetes dan siswa. Perbedaan dengan teknik wawancara ini seringkali membias pada praktiknya akan tetapi perbedaan ini sudah cukup jelas dalam hal prinsip.Wawancara mensyaratkan kontrol ketat dan mempertahankan inisyatif. Apapun yang dikatakan siswa kurang lebih merupakan respon langsung dari pertanyaan atau pernyataan pewawancara. Tapi siswa masih mempunyai kebebasan untuk menjawab sesuka hatinya atau dapat mengembangkan komentar, opininya pada saat diwawancarai. Ketika siswa telah usai menjawab, memberikan komentar terhadap suatu pertanyaan, selanjutnya pewawancara berkompeten untuk beranjak ke tahap berikutnya untuk menanyakan topik atau pertanyaan baru.
  Pertanyaan dan toopik yang diangkat oleh pewawancara ditentukan sebelum pelaksanaan wawancara demi suksesnya pembuatan sampel yang representatif. Peawancara membuat daftar pertanyaan terhadap topik yang akan dibahas secara tertulis atau sudah dihafalkan untuk ditanyakan kepada siswa. Daftar tertulis atau daftar mental akan memuat beragam pertanyaan dan topik untuk menghindari repitisi konstan dan kompromi. Pilihan akhir topik dan pertanyaan yang digunakan akan diserahkan kepada pewawancara selama proses wawancara.
Tahap-tahap dalam wawancara
  Pewawancara harus dapat mulai bekerja dengan menyusun rencana yang terencana. Untuk wawancara dengan media lima sampai delapan menit, perencanaan dapat berupa;
a)      pengantar (pertanyaan-pertanyaan sosial untuk memudahkan siswa)
b)      menemukan level (serangkaian pertanyaan-pertanyaandan topik untuk menetapkan tingkat melalui skala yang spesifik)
c)      mengecek, memeriksa pertanyaan (baik yang berada di level atas atau bawah yang telah ditentukan, dilakukan untuk meyakinkan kebenarannya)
  Pewawancara memilih pertanyan dan komentarnya untuk menetapkan dan mencoba tujuan dari setiap tahapan. Ketika dia merasa bahwa fungsi dari satu tahapan telah dapat dicapai maka dia melanjutkannya pada tahap berikut, dan mencoba untuk membuat sebuah transisi atau perubahan sebaik mungkin.
  Dalam tahap awal wawancara, pewawancara harus berupaya menjaga untuk membantu tumbuhnya rasa percaya diri siswa dengan mengisi, menyelingi ketika siswa berhenti berbicara. Bantulah siswa dengan memberikan kata-kata yang dicari atau yang hendak dikatakannya, agar siswa akan tetap berproduktif di dalam beragumen tanpa harus membuang-buang waktu percuma.


3. Komentar
            Penciptaan sifat produktif bahasa dalam berbicara melalui teknik elisitasi yang digunakan dalam kepentingan pengetesan tentunya bertujuan untuk melihat tingkat penguasaan siswa terhadap unsur-unsur bahasa yang sudah dipelajari dengan menggunakan teknik pengukuran yang ditetapkan. Pengujian bahasa dengan menggunakan teknik elisitasi, mensyaratkan bahwa apa yang ditanyakan kepada siswa adalah tidak lebih dari apa yang sudah diajarkan atau dipelajari.
            Dengan teknik elisitasi, siswa diharapkan dapat berperan mengungkapkan pandangan, gagasannya kepada orang lain atau kepada pengetes. Teknik elisitasi tidak sekedar siswa dapat berbicara namun setidaknya tercipta suasana komunikasi yang sewajarnya. Oleh karena itu perlu menjadi catatan bahwa sesungguhnya komunikasi hanya dapat terjadi secara efektif bila kedua belah pihak partisipan mempunyai pengetahuan yang kurang lebih sama tentang media yang digunakan. Pengetahuan tentang kaidah-kaidah bahasa yang dipakai, makna kata yang dipakai merupakan dasar kemungkinan terjadinya komunikasi. Pengetahuan semacam ini disebut kompetensi bahasa. Namun demikian kompetensi bahasa yang dimiliki seseorang tidak sertamerta dapat diterapkan sebagai media komunikasi yang efektif. Diluar dari pada itu makna denotatif, unsur nonkebahasaan, gesture atau bahasa nonverbal harus dapat menyertai kompetensi bahasa dalam proses komunikasi lisan. Realisasi kompetensi bahasa beserta unsur-unsur nonkebahasaan dalam konteks komunikasi secara efektif itu disebut performans komunikasi.
            Sekiranya hal ini juga yang diharapkan dalam teknik elisitasi, agar siswa tidak sekadar berbicara memakai bahasa kedua tapi lebih dari pada itu dapat memahami unsur-unsur nonkebahasaannya dengan baik. Teknik elisitasi yang kita gunakan selalu mensyaratkan kepada siswa untuk dapat bicara, dan satu hal yang harus diperhatikan adalah kita sebagai pengetes dapat mengabaikan kepentinggan pengetesan agar siswa dapat berbicara dengan lepas terkontrol tidak merasa tegang bahwa sesungguhnya dia sedang diuji atau dinilai. Situasi ujian akan sangat mempengaruhi keadaan psikologi siswa apalagi dalam mengetes kemampuan oralnya. Oleh karena itu usaha pengetesan bahasa dapat  dilakukan secara tersembunyi atau tanpa memberi tahu kepada siswa bahwa mereka akan diuji dengan cara elisitasi tertentu.
            Yang paling esensial dalam teknik elisitasi adalah bagaimana kita melihat, memperoleh proses dari pada hasil semata. Dengan mengutamakan proses otomatis mensyaratkan siswa dapat berproduktif terhadap bahasa yang dipelajarinya. Seorang pengetes akan mampu memberikan hasil yang objektif apabila proses berjalan baik.
            Pengetes harus menyadari bahwasannya proses komunikasi akan berjalan lancar dan efektif apabila para siswa memiliki pengalaman dan pengetahuan yang kurang lebih sama. Sebaliknya apabila pengalaman dan pengetahuan para siswa itu tidak sama maka bisa terjadi berbagai hambatan. Hambatan ini terjadi karena adanya perbedaan pendidikan, profesi, usia, pengalaman dan sebagainya. Oleh karena itu, pengetes atau guru harus dapat menyadari posisinya tatkala dia harus memberikan pancingan kepada para siswa agar bicara. Tanpa sadar guru atau pengetes memberikan pancingan kepada siswa dengan bahasa yang cukup rumit atau dengan unsur-unsur bahasa yang belum pernah dipelajari, sehingga wajarlah jika siswa  tidak sanggup meresponinya. Dan dengan demikian teknik elisitasi dengan cara seperti ini tidak akan berguna dalam menciptakan produktifitas bahasa akan tetapi merusak reputasinya.
            Dalam mewujudkan penciptaan produktifitas bahasa melalui teknik elisitasi, ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya suatu komunikasi yang kondusif, yakni posisi ‘diri’ kita.  Kita mungkin dapat belajar menyadari akan keadaan diri kita di saat berkomunikasi, tentunya setelah menyimak beberapa faktor dibawah ini yang penulis rangkum dari pendapat A. Harris dalam bukunya Sujianto, yakni;
a.       “I’m not ok, you’re ok”
ungkapan ini sama maknanya dengan orang yang merasa dirinya tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan orang lain. Orang yang tergolong kelompok ini selalu akan merasa rendah diri dari pada mereka yang dianggap inferior. Sikap mental semacam ini sangat mempengaruhi akifitas komunikasi.
b.      “I’m not ok, you’re not ok”
ungkapan semacam ini sama maknanya dengan orang yang juga merasa dirinya tidak ada apa-apa dan menganggap juga sama dengan orang lain. Sehingga beranggapan apa yang disampaikannya, orang lain tidak terlalu berguna baginya,  orang lain.
c.       “I’m ok, you’re not ok”
ungkapan ini sama maknanya dengan orang yang menganggap dirinya paling… dari pada orang lain, sehingga merasa percaya diri yang berlebihan dengan tidak menghargai suport dari orang lain.
d.      “I’m ok, you’re ok”
ungkapan ini merupakan posisi yang dewasa dan normal. Dia akan merasa percaya diri dalam berkomunikasi dengan tidak memandang remeh pandangan atau suport orang lain.
            Ketiga jenis kategori di atas, masing-masing mempunyai kekurangan beberapa hal dari ciri-ciri komunikator yang baik seperti yang dimiliki oleh kategori keempat. Setiap orang yang belajar bahasa kedua akan berkomunikasi dengan tingkat penguasaan bahasa yang dimilikinya, dan kemnungkinan hal ini akan bersinggungan dengan faktor-faktor diatas secara relatif.
            Sehubungan dengan hal tersebut bagaimana mengatasi ketegangan atau rasa takut tatkala kita harus berbicara di depan pengetes atau umum. Yang pertama adalah siap mental, jika kita telah mengetahui kekuatan dan kelemahan kita, maka paling tidak kelemahan tersebut dapat dikendalikan pada saat kita akan mulai bertindak. Perasaan atau sikap yang sering mengganggu terjadinya komunikasi yang baik dalam diri kita adalah sikap ambivalensi, nervous, grogi dan sebagainya. Tenangkan perasaan dengan mengatakan kepada diri kita sendiri bahwa orang-orang yang cakap sekalipun tidak mungkin kalau tidak merasakan perasaan seperti yang kita rasakan. Kita mengakui kelemahan kita tapi tidak harus terjebak dengan kelemahan tersebut sehingga hilanglah rasa percaya diri kita.
            Jika kita siap mental, isi dan tujuan yang jelas, mengetahui bagaimana menyampaikan isi pesan serta pencapaian tujuan kita akan sanggup berbicara dengan baik. Dalam hal ini juga, kita musti menguasai media bahasa sedapat mungkin, dan cobalah menerapkan pola-pola bahasa  yang sudah dipelajari ke dalam  komunikasi oral. Kesalahan yang kita lakukan akan menunjukkan suatu kemajuan yang signifikan, karena pada dasarnya kita belajar dari kesalahan-kesalahan yang dilakukan dengan berbagai usaha remedial yang ada.
           

4. Kesimpulan
            Sifat produktif bahasa mensyaratkan supaya orang dapat berkreasi, bermain kata dan sebagainya.  Teknik elisitasi mengharapkan bahasa yang dipelajari dalam hal ini bahasa kedua dapat diaplikasikan secara produktif oleh setiap yang belajar. Dari beberapa teknik elisitasi yang dipaparkan tadi, sekiranya dapat diterapkan dalam pengajaran bahasa dengan melihat kesesuaian yang ada. Artinya pilihlah mana teknik yang dianggap baik untuk tingkatan, kelas tertentu.
            Unsur-unsur yang mempengaruhi kemampuan berbicara orang sekiranya juga menjadi perhatian pengajar, bahwa sesungguhnya baik siswa yang memiliki kemampuan cepat maupun lamban harus diberikan kesempatan yang sama secara seimbang dengan tidak mengindahkan pihak tertentu saja. Hal ini perlu menjadi catatan agar teknik elisitasi benar-benar membawa siswa lebih produktif dengan bahasa yang dipelajarinya. Pendek kata, teknik elisitasi akan berjalan efektif bila sifat produktif bahasa dari tiap siswa diutamakan tanpa memandang  perbedaan seperti dalam situasi yang konvensional.


5. Sumber Bacaan
Parera, J.D. 1993. Leksikon Istilah Pembelajaran Bahasa. Jakarta: Gramedia
Sujianto, J,Ch. 1988. Ketrampilan Berbahasa. Jakarta: Depdikbud
Takeshi, H. 1999. Disukoosu. Tokyo: KurishioShuppan
Underhill, N. 2000. Testing Spoken Language.  
     1986. Pendidikan Orang Dewasa. Jakarta: Gramedia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar