Senin, 09 Februari 2015

BUDAYA BIROKRASI ORGANISASI DALAM PELAYANAN PUBLIK *

Oleh: J. Harly Tangkilisan **

abstrak
Public service as a process of organizational performance (bureaucracy), attachment and influence organizational culture is very strong. In other words, any activities undertaken by public service officials should be guided by the signs of normative rules that have been determined by public organizations as the embodiment of a culture of public organizations.
Bureaucratic model of public service is suitable for cultural bureaucratic hierarchical society ; privatization model of public services is suitable for the culture of individual communities (anti- hierarchica; public service collective model is suitable for fatalist culture (which supports hierarchical culture and anti- culture of people); while the public service requires fast service and open model suitable for culture egalitarian society (anti-culture hierarchical, anti-cultural and anti-cultural individuals fatalist.
 
Kata Kunci: Bureaucracy, Public, Service, Society

I.   PENDAHULUAN
Adanya wacana mengenai ketidak-berdayaan administrasi negara melalui birokrasinya dalam menghadapi masalah-masalah sosial, ekonomi dan politik sudah dirasakan sejak lama. Kondisi semacam ini dalam perdebatan administrasi negara sering disebut sebagai “Krisis Identitas” yang mempertanyakan kecenderungan peran dan posisi administrasi negara sebagai ilmu (science) ataukah sebagai praktek (art). Kesan semacam ini didukung oleh adanya fakta tumpang tindihnya antara posisi peran ilmu politik (ilmu pemerintahan) dan ilmu ekonomi (ilmu manajemen) dengan ilmu administrasi dalam praktekpraktek administrasi negara yang terkesan bersifat legal formal, spesifik, bernuansa budaya sentris, sampai dengan anggapan bahwa administrasi Negara tidak memiliki persyaratan ilmiah dan teoritisasi yang sifatnya berlaku umum.
Oleh karena itu Robert Dahl (1947) menyarankan adanya studi perbandingan administrasi negara (atau studi perbandingan birokrasi) yang mampu melakukan terobosan, terutama dalam menjawab tantangan-tantangan pembangunan yakni masalah kemiskinan dan ketidakadilan sosial, terutama yang terjadi di negara-negara berkembang dan negara-negara miskin. Produk dari pemikiran ini, kemudian berkembang dan melahirkan paradigma administrasi pembangunan (development administration paradigm) yang dibentuk oleh Ikatan Sarjana Administrasi Pembangunan Asia di Teheran (1966) yang bergerak dalam bidang penyempurnaan administrasi negara di wilayah timur. Salah satu orientasinya adalah bagaimana administrasi negara mampu mengembangkan dirinya dalam melaksanakan fungsi-fungsi pembangunan, terutama dalam hal pelayanan publik yang dapat dipertanggung jawabkan (responsibelity), memiliki daya tanggap yang kuat (responsivity) dan mampu mewakili kepentingan masyarakat (representativity) berdasar ketentuan hukum dan aturan yang berlaku dengan pancaran hati nurani (akuntabelity) . Oleh sebab itu, pergeseran pemikiran administrasi semacam ini seharusnya tidak hanya membawa konsekuensi terhadap perubahan struktur, fungsi, financial dan personalia dari organisasi birokrasi itu saja, tetapi yang lebih penting bagaimana perubahan struktur, fungsi, finansial dan personalia organisasi birokrasi mampu diikuti oleh perubahan kultur organisasi birokrasi dan perilaku manusia-manusia yang terlibat di dalamnya. Apabila perubahan ini dapat terwujud, maka apa yang diharapkan dalam orientasi efektivitas pelayanan publik, akan dapat tercapai.

II. PEMBAHASAN
A.  TEORI PELAYANAN PUBLIK
Jika pelayanan publik sebagai produk dari orientasi pemikiran administrasi pembangunan, dan administrasi pembangunan sebagai orientasi baru dari reformasi administrasi negara; maka muncul pertanyaan, adakah teori khusus yang berkaitan dengan pelayanan publik ?
Gerald Caiden (1986) sebagai seorang pakar administrasi negara pernah menyindir tentang keberadaan teori administrasi negara ini. Menurut Caiden, administrasi negara itu terlalu banyak teori, tetapi tidak terdapat satu teoripun yang dapat diberlakukan secara umum dari administrasi negara. Hal yang bernada sama pernah disampaikan pula oleh Fred.W Riggs (1964) dan Ferrel Heady (1966) yang mempertanyakan perihal isi dan kecenderungan dari teori administrasi negara yang dianggapnya tidak jelas metodologinya.
Di pihak lain, dalam beberapa literatur pelayanan publik lebih dikenal sebagai tatanan konsep daripada tatanan teori (Thoha,1992; Munafe,1966; Djumara,1994; Hardjosoekarso, Kristiadi dan Saragih,1994). Oleh karena itu istilah pelayanan publik disebut juga dengan istilah pelayanan kepada orang banyak (masyarakat), pelayanan sosial, pelayanan umum dan pelayanan prima. Pernyataan semacam ini sekaligus menambah adanya kerancuan ontologis (apa, mengapa), epistemologis (bagaimana) dan axiologis (untuk apa) dalam memperbincangkan teori yang berkaitan dengan pelayanan publik.
Secara ideal, persyaratan teori administrasi yang menyangkut pelayanan publik antara lain :
1.Harus mampu menyatakan sesuatu yang berarti dan bermakna yang dapat diterapkan pada situasi kehidupan nyata dalam masyarakat (konteksual).
2. Harus mampu menyajikan suatu perspektif kedepan.
3.Harus dapat mendorong lahirnya cara-cara atau metode baru dalam situasi dan kondisi yang berbeda.
4.Teori administrasi yang sudah ada harus dapat merupakan dasar untuk mengembangkan teori administrasi lainnya, khususnya pelayanan publik.
5.Harus dapat membantu pemakainya untuk menjelaskan dan meramalkan fenomena yang dihadapi.
6. Bersifat multi disipliner dan multi dimensional (komprehensif).

Berpedoman dari persyaratan di atas, maka Ferrel Heady (1966) menyarankan adanya:
a. Tindakan modifikasi terhadap teori administrasi negara klasik/ tradisional.
b. Perubahan isi dari teori administrasi yang lebih diorientasikan kepada kepentingan pembangunan.
c. Melakukan redifinisi secara umum terhadap sistem dan model-model pengembangan.
d. Menemukan perumusan baru teori administrasi yang bersifat middle range theory.
Adapun Fred. W Riggs (1964) menyarankan adanya pergeseran pendekatan metodologi penelitian administrasi (khususnya yang berkaitan dengan pengamatan fenomena pelayanan publik) dari :
(1) Pendekatan normatif ke pendekatan empiris;
(2) Pendekatan ideografik ke pendekatan nomotetik;
(3) Pendekatan struktural ke pendekatan ekologi, dan
(4) Pendekatan behavior ke pendekatan post-behavior (pendekatan analogi).
Apabila hal-hal tersebut dapat dilakukan, maka diharapkan studi administrasi negara:
(a) Mampu menciptakan konsep dan teori-teori baru yang dapat menerobos batas-batas kebudayaan,
(b) Mampu membandingkan ketentuan-ketentuan formal, hukum-hukum dan peraturan-peraturan yang ada sebagai landasan perumusan keputusan dan kebijaksanaan (pelayanan publik),
(c) Mampu bertindak sesuai dengan kajian fakta dan data di lapangan.
Kesimpulan sementara yang dapat diambil apabila administrasi negara ingin menemukan identitas teori-teori yang berkaitan dengan pelayanan publik, maka perlu adanya kegiatan studi komparatif administrasi negara dalam bidang pelayanan publik dan meningkatkan kegiatan penelitian atau riset lapangan yang berkaitan dengan proses perumusan kebijakan pelayanan publik, proses implementasi pelayanan publik dan evaluasi produk pelayanan publik.

B. BUDAYA BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK
Ada asumsi menarik yang dipertanyakan, Apakah budaya organisasi birokrasi mempengaruhi proses pelayanan publik, ataukah tradisi pelayanan publik akan mempengaruhi dan menciptakan budaya organisasi birokrasi ?
Jika yang pertama muncul maka akan terjadi stagnasi dan kekuatan status quo dalam organisasi birokrasi; tetapi jika yang kedua muncul maka akan tercipta perubahan dan pengembangan organisasi birokrasi yang dinamis.
Budaya organisasi (birokrasi) merupakan kesepakatan bersama tentang nilai-nilai bersama dalam kehidupan organisasi dan mengikat semua orang dalam organisasi yang bersangkutan (Sondang P. Siagian,1995). Oleh karena itu budaya organisasi birokrasi akan menentukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh para anggota organisasi; menentukan batas-batas normatif perilaku anggota organisasai; menentukan sifat dan bentuk-bentuk pengendalian dan pengawasan organisasi; menentukan gaya manajerial yang dapat diterima oleh para anggota organisasi; menentukan cara-cara kerja yang tepat, dan sebagainya. Secara spesifik peran penting yang dimainkan oleh budaya organisasi (birokrasi) adalah membantu menciptakan rasa memiliki terhadap organisasi; menciptakan jati diri para anggota organisasi; menciptakan keterikatan emosional antara organisasi dan pekerja yang terlibat didalamnya; membantu menciptakan stabilitas organisasi sebagai sistem sosial; dan menemukan pola pedoman perilaku sebagai hasil dari norma-norma kebiasaan yang terbentuk dalam keseharian.
Begitu kuatnya pengaruh budaya organisasi (birokrasi) terhadap perilaku para anggota organisasi, maka budaya organisasi (birokrasi) mampu menetapkan tapal batas untuk membedakan dengan organisasi (birokrasi) lain; mampu membentuk identitas organisasi dan identitas kepribadian anggota organisasi; mampu mempermudah terciptanya komitmen organisasi daripada komitmen yang bersifat kepentingan individu; mampu meningkatkan kemantapan keterikatan sistem sosial; dan mampu berfungsi sebagai mekanisme pembuatan makna dan simbol-simbol kendali perilaku para anggota organisasi.
Pelayanan publik sebagai suatu proses kinerja organisasi (birokrasi), keterikatan dan pengaruh budaya organisasi sangatlah kuat. Dengan kata lain, apapun kegiatan yang dilakukan oleh aparat pelayanan publik haruslah berpedoman pada rambu-rambu aturan normatif yang telah ditentukan oleh organisasi publik sebagai perwujudan dari budaya organisasi publik. Oleh karena itu Dennis A. Rondinelli (1981) pernah mengingatkan bahwa penyebab kegagalan utama dalam melaksanakan orientasi pelayanan publik ini (jelasnya, tugas desentralisasi) adalah : Kuatnya komitmen budaya politik yang bernuansa sempit; kurangnya tenaga-tenaga kerja yang terlatih dan trampil dalam unit-unit lokal; kurangnya sumber-sumber dana untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawab; adanya sikap keengganan untuk melakukan delegasi wewenang; dan kurangnya infrastruktur teknologi dan infra struktur fisik dalam menunjang pelaksanaan tugas-tugas pelayanan publik. Demikian juga Malcolm Walters (1994) menambahkan bahwa kegagalan daripada pelayanan publik ini disebabkan karena aparat (birokrasi) tidak menyadari adanya perubahan dan pergeseran yang terjadi dalam budaya masyarakatnya dari budaya yang bersifat hirarkhis, budaya yang bersifat individual, budaya yang bersifat fatalis, dan budaya yang bersifat egaliter. Pelayanan publik yang modelnya birokratis cocok untuk budaya masyarakat hirarkhis; pelayanan publik yang modelnya privatisasi cocok untuk budaya masyarakat individual (yang anti hirarkhis); pelayanan publik yang modelnya kolektif cocok untuk budaya masyarakat fatalis (yang mendukung budaya hirarkhis dan anti budaya individu); sedangkan pelayanan publik yang modelnya memerlukan pelayanan cepat dan terbuka cocok untuk budaya masyarakat egaliter (yang anti budaya hirarkhis, anti budaya individu dan anti budaya fatalis).
Masalahnya sekarang, untuk masyarakat Indonesia dewasa ini tergolong dalam kategori budaya masyarakat yang mana ? Ini harus dipahami ! (Dapat dibilang bahwa masyarakat Indonesia saat ini sudah memasuki era budaya masyarakat egaliter; oleh karenanya bentuk pelayanan publik yang cocok adalah model pelayanan cepat dan terbuka). Menurut Grabiel A. Almond (1960) proses perubahan pembudayaan ini harus disebar-luaskan atau disosialisasikan secara merata kepada masyarakat, dicarikan rekruitmen tenaga-tenaga kerja (birokrasi) yang profesional, dipahami atau diartikulasikan secara tepat dan benar, ditumbuh kembangkan sebagai kepentingan masyarakat secara umum, dan dikomunikasikan secara dialogis. Hasil dari proses pembudayaan diharapkan mampu menciptakan pengambilan keputusan/ kebijaksanaan yang benar, menciptakan terbentuknya kelompok pelaksana kerja yang efektif, dan terciptanya tim pengawasan yang bertindak jujur dan obyektif. Pada akhirnya, proses ini berujung pada proses internalisasi kepribadian dan sinergi ekonomi masyarakat sebagai basis utamanya.

C.  EFEKTIVITAS PELAYANAN PUBLIK
Substansi pelayanan publik selalu dikaitkan dengan suatu kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok orang atau instansi tertentu untuk memberikan bantuan dan kemudahan kepada masyarakat dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Pelayanan publik ini menjadi semakin penting karena senantiasa berhubungan dengan khalayak masyarakat ramai yang memiliki keaneka ragaman kepentingan dan tujuan. Oleh karena itu institusi pelayanan publik dapat dilakukan oleh pemerintah maupun non-pemerintah. Jika pemerintah, maka organisasi birokrasi pemerintahan merupakan organisasi terdepan yang berhubungan dengan pelayanan publik. Dan jika non-pemerintah, maka dapat berbentuk organisasi partai politik, organisasi keagamaan, lembaga swadaya masyarakat maupun organisasi-organisasi kemasyarakatan yang lain. Siapapun bentuk institusi pelayanananya, maka yang terpenting adalah bagaimana memberikan bantuan dan kemudahan kepada masyarakat dalam rangka memenuhi kebutuhan dan kepentingannya.
Dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pemerintahan, birokrasi sebagai ujung tombak pelaksana pelayanan publik mencakup berbagai program-program pembangunan dan kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah. Tetapi dalam kenyataannya, birokrasi yang dimaksudkan untuk melaksanakan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan tersebut, seringkali diartikulasikan berbeda oleh masyarakat. Birokrasi di dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan (termasuk di dalamnya penyelenggaraan pelayanan publik) diberi kesan adanya proses panjang dan berbelit-belit apabila masyarakat menyelesaikan urusannya berkaitan dengan pelayanan aparatur pemerintahan. Akibatnya, birokrasi selalu mendapatkan citra negatif yang tidak menguntungkan bagi perkembangan birokrasi itu sendiri (khususnya dalam hal pelayanan publik). Oleh karena itu, guna menanggulangi kesan buruk birokrasi seperti itu, birokrasi perlu melakukan beberapa perubahan sikap dan perilakunya antara lain :
a. Birokrasi harus lebih mengutamakan sifat pendekatan tugas yang diarahkan pada hal pengayoman dan pelayanan masyarakat; dan menghindarkan kesan pendekatan kekuasaan dan kewenangan.
b. Birokrasi perlu melakukan penyempurnaan organisasi yang bercirikan organisasi modern, ramping, efektif dan efesien yang mampu membedakan antara tugas-tugas yang perlu ditangani dan yang tidak perlu ditangani (termasuk membagi tugas-tugas yang dapat diserahkan kepada masyarakat).
c. Birokrasi harus mampu dan mau melakukan perubahan sistem dan prosedur kerjanya yang lebih berorientasi pada ciri-ciri organisasi modern yakni : pelayanan cepat, tepat, akurat, terbuka dengan tetap mempertahankan kualitas, efesiensi biaya dan ketepatan waktu.
d. Birokrasi harus memposisikan diri sebagai fasilitator pelayan publik dari pada sebagai agen pembaharu (agent of change) pembangunan.
e. Birokrasi harus mampu dan mau melakukan transformasi diri dari birokrasi yang kinerjanya kaku (rigid) menjadi organisasi birokrasi yang strukturnya lebih desentralistis, inovatif, flrksibel dan responsif.
Dari pandangan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa organisasi birokrasi yang mampu memberikan pelayanan publik secara efektif dan efesien kepada masyarakat, salah satunya jika strukturnya lebih terdesentralisasi daripada tersentralisasi. Sebab, dengan struktur yang terdesentralisasi diharapkan akan lebih mudah mengantisipasi kebutuhan dan kepentingan yang diperlukan oleh masyarakat, sehingga dengan cepat birokrasi dapat menyediakan pelayanannya sesuai yang diharapkan masyarakat pelanggannya. Sedangkan dalam konteks persyaratan budaya organisasi birokrasi, perlu dipersiapkan tenaga kerja atau aparat yang benar-benar memiliki kemampuan (capabelity), memiliki loyalitas kepentingan (competency), dan memiliki keterkaitan kepentingan (consistency atau coherency).

D.  TOLOK UKUR KUALITAS PELAYANAN PUBLIK
Dalam tinjauan manajemen pelayanan publik, ciri struktur birokrasi yang terdesentralisir memiliki beberapa tujuan dan manfaat antara lain :
(1) Mengurangi (bahkan menghilangkan) kesenjangan peran antara organisasi pusat dengan organisasi-organisasi pelaksana yang ada dilapangan;
(2) Melakukan efesiensi dan penghematan alokasi penggunaan keuangan;
(3) Mengurangi jumlah staf/aparat yang berlebihan terutama pada level atas dan level menengah (prinsip rasionalisasi);
(4) Mendekatkan birokrasi dengan masyarakat pelanggan.
Mencermati pandangan ini, maka dalam konteks pelayanan publik dapat digaris-bawahi bahwa keberhasilan proses pelayanan publik sangat tergantung pada dua pihak yaitu birokrasi (pelayan) dan masyarakat (yang dilayani). Dengan demikian untuk melihat kualitas pelayanan publik perlu diperhatikan dan dikaji dua aspek pokok yakni : Pertama, aspek proses internal organisasi birokrasi (pelayan); Kedua, aspek eksternal organisasi yakni kemanfaatan yang dirasakan oleh masyarakat pelanggan.
Dalam hal ini Irfan Islamy (1999) menyebut beberapa prinsip pokok yang harus dipahami oleh aparat birokrasi publik dalam aspek internal organisasi yaitu :
(a) Prinsip Aksestabelitas, dimana setiap jenis pelayanan harus dapat dijangkau secara mudah oleh setiap pengguna pelayanan (misal: masalah tempat, jarak dan prosedur pelayanan).
(b) Prinsip Kontinuitas, yaitu bahwa setiap jenis pelayanan harus secara terus menerus tersedia bagi masyarakat dengan kepastian dan kejelasan ketentuan yang berlaku bagi proses pelayanan tersebut.
(c) Prinsip Teknikalitas, yaitu bahwa setiap jenis pelayanan proses pelayanannya harus ditangani oleh aparat yang benar-benar memahami secara teknis pelayanan tersebut berdasarkan kejelasan, ketepatan dan kemantapan sistem, prosedur dan instrumen pelayanan.
(e) Prinsip Profitabilitas, yaitu bahwa proses pelayanan pada akhirnya harus dapat dilaksanakan secara efektif dan efesien serta memberikan keuntungan ekonomis dan sosial baik bagi pemerintah maupun bagi masyarakat luas.
(f)  Prinsip Akuntabelitas, yaitu bahwa proses, produk dan mutu pelayanan yang telah diberikan harus dapat dipertanggung jawabkan kepada masyarakat karena aparat pemerintah itu pada hakekatnya mempunyai tugas memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada masyarakat.
Begitu pentingnya profesionalisasi pelayanan publik ini, pemerintah melalui Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara telah mengeluarkan suatu kebijaksanaan Nomor 81 Tahun 1993 tentang Pedoman Tatalaksana Pelayanan Umum yang perlu dipedomani oleh setiap birokrasi publik dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat berdasar prinsip-prinsip pelayanan sebagai berikut :
(1) Kesederhanaan, dalam arti bahwa prosedur dan tata cara pelayanan perlu ditetapkan dan dilaksanakan secara mudah, lancar, cepat, tepat, tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan mudah dilaksanakan oleh masyarakat yang meminta pelayanan.
(2) Kejelasan dan kepastian, dalam arti adanya kejelasan dan kepastian dalam hal prosedur dan tata cara pelayanan, persyaratan pelayanan baik teknis maupun administratif, unit kerja pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab dalam meberikan pelayanan, rincian biaya atau tarif pelayanan dan tata cara pembayaran, dan jangka waktu penyelesaian pelayanan.
(3) Keamanan, dalam arti adanya proses dan produk hasil pelayanan yang dapat memberikan keamanan, kenyamanan dan kepastian hukum bagi masyarakat.
(4) Keterbukaan, dalam arti bahwa prosedur dan tata cara pelayanan, persyaratan, unit kerja pejabat penanggung jawab pemberi pelayanan, waktu penyelesaian, rincian biaya atau tarif serta hal-hal lain yang berkaitan dengan proses pelayanan wajib diinformasikan secara terbuka agar mudah diketahui dan dipahami oleh masyarakat, baik diminta maupun tidak diminta.
(5) Efesiensi, dalam arti bahwa persyaratan pelayanan hanya dibatasi pada hal-hal yang berkaitan langsung dengan pencapaian sasaran pelayanan dengan tetap memperhatikan keterpaduan antara persyaratan dengan produk pelayanan.
(6) Ekonomis, dalam arti bahwa pengenaan biaya atau tarif pelayanan harus ditetapkan secara wajar dengan memperhatikan: nilai barang dan jasa pelayanan, kemampuan masyarakat untuk membayar, dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
(7) Keadilan dan Pemerataan, yang dimaksudkan agar jangkauan pelayanan diusahakan seluas mungkin dengan distribusi yang merata dan adil bagi seluruh lapisan masyarakat .
(8) Ketepatan Waktu, dalam arti bahwa pelaksanaan pelayanan harus dapat diselesaikan tepat pada waktu yang telah ditentukan.
Oleh karena itu dalam merespon prinsip-prinsip pelayanan publik yang perlu dipedomani oleh segenap aparat birokrasi peleyanan publik , maka kiranya harus disertai pula oleh sikap dan perilaku yang santun, keramah tamahan dari aparat pelayanan publik baik dalam cara menyampaikan sesuatu yang berkaitan dengan proses pelayanan maupun dalam hal ketapatan waktu pelayanan. Hal ini dimungkinkan agar layanan tersebut dapat memuaskan orang-orang atau kelompok orang yang dilayani. Ada 4 (empat) kemungkinan yang terjadi dalam mengukur kepuasan dan kualitas pelayanan publik ini, yaitu : (1) Bisa jadi pihak aparat birokrasi yang melayani dan pihak masyarakat yang dilayani sama-sama dapat dengan mudah memahami kualitas pelayanan tersebut (mutual knowledge), (2) Bisa jadi pihak aparat birokrasi yang melayani lebih mudah memahami dan mengevaluasi kualitas pelayanan publik daripada masyarakat pelanggan yang dilayani (producer knowledge), (3) Bisa jadi masyarakat pelanggan yang dilayani lebih mudah dan lebih memahami dalam mengevaluasi kualitas pelayanan yang diberikan oleh aparat birokrasi pelayanan publik (consumer knowledge), dan (4) Bisa jadi baik aparat birokrasi pelayanan publik maupun masyarakat yang dilayani sama-sama tidak tahu dan mendapat kesulitan dalam mengevaluasi kualitas pelayanan publik (mutual Ignorance). Dalam hal ini teori analisa yang dapat dipergunakan antara lain teori “Impression Management” yaitu bagaimana mengukur tingkat responsif, tingkat responsbelity dan tingkat representatif seseorang atau kelompok orang terhadap fenomena tertentu (Fred Luthans, 1995).
Sayangnya, dalam praktek dan tinjauan teoritis untuk menentukan tolok ukur kualitas pelayanan publik tidak semudah membalikkan telapak tangan. Richard M. Steers (1985) menyebutkan beberapa faktor yang berkepentingan dalam upaya mengidentifikasi kualitas pelayanan publik antara lain : variabel karakteristik organisasi, variabel karakteristik lingkungan, variable karakteristik pekerja/aparat, variabel karakteristik kebijaksanaan, dan variable parkatek-praktek manajemennya. Untuk melengkapi pendapat ini, maka Sofian Effendi (1995) menyebutkan beberapa faktor lagi yang menyebabkan rendahnya kualitas pelayanan publik (di Indonesia) antara lain adanya:
(a) Konteks monopolistik, dalam hal ini karena tidak adanya kompetisi dari penyelenggara pelayanan publik, tidak ada dorongan yang kuat untuk meningkatkan jumlah, kualitas maupun pemerataan pelayanan tersebut oleh pemerintah.
(b) Tekanan dari lingkungan, dimana faktor lingkungan amat mempengaruhi kinerja organisasi pelayanan dalam transaksi dan interaksinya antara lingkungan dengan organisasi publik.
(c) Budaya patrimonial, dimana budaya organisasi penyelenggara pelayanan publik di Indonesia masih banyak terikat oleh tradisi-tradisi politik dan budaya masyarakat setempat yang seringkali tidak kondusif dan melanggar peraturan-peraturan yang telah ditentukan.
Untuk solusinya dalam menghadapi tantangan dan kendala-kendala pelayanan publik sebagaimana disebutkan diatas, maka diperlukan adanya langkah-langkah strategis antara lain : Pertama: Merubah tekanan-tekanan sistem pemerintahan yang sifatnya sentralistik otoriter menjadi sistem pemerintahan desentralistik demokratis; Kedua : Membentuk  sosiasi/perserikatan kerja dalam pelayanan publik; Ketiga: Meningkatkan keterlibatan masyarakat, baik dalam perumusan kebijakan pelayanan publik, proses pelaksanaan pelayanan publik maupun dalam monitoring dan pengawasan pelaksanaan pelayanan publik; Keempat : Adanya kesadaran perubahan sikap dan perilaku dari aparat birokrasi pelayanan publik menuju model birokrasi yang lebih humanis (Post Weberian); Kelima : Menyadari adanya pengaruh kuat perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam menunjang efektivitas kualitas pelayanan publik; Keenam : Pentingnya faktor aturan dan perundang-undangan yang menjadi landasan kerja bagi aparat pelayanan publik; Ketujuh : Pentingnya perhatian terhadap faktor pendapatan dan penghasilan (Wages and Salary) yang dapat memenuhi kebutuhan minimum bagi aparat pelayanan publik; Kedelapan : Pentingnya faktor keterampilan dan keahlian petugas pelayanan publik; Kesembilan: Pentingnya faktor sarana phisik pelayanan publik; Kesepuluh : Adanya saling pengertian dan pemahaman bersama (mutual understanding) antara pihak aparat birokrasi pelayan publik dan masyarakat yang memerlukan pelayanan untuk mematuhi peraturan dan perundang-undangan yang berlaku khususnya dalam pelayanan publik.

III. PENUTUP
Secara teoritis, perubahan-perubahan komitmen dalam organisasi akan dikuti oleh kegiatan pengembangan organisasi yang langsung maupun tidak langsung merubah pula tradisi-tradisi budaya kerja organisasi yang sudah ada. Keterkaitan semacam ini berhubungan erat dengan perubahan-perubahan struktural, fungsional, finansial, personalia, teknikal maupun perubahan-perubahan di bidang fisikal (tata ruang pelayanan kerja) yang memang diperlukan dalam proses perubahan tersebut.
Perubahan dalam organisasi (birokrasi) apapun bentuknya jika tidak dipersiapkan dengan matang justru akan menimbulkan dampak negatif (Dis-consequenses) daripada dampak positifnya (Eu-consequenses). Oleh karena itu bagi administrator publik perubahan situasi dan kondisi yang berkembang dewasa ini (sebut saja, perubahan struktur, fungsi, finansial, personalia dan kultur organisasi dalam kasus otonomi daerah) harus diantisipasi dan disiasati sedini mungkin secara cermat dan bijaksana (wait and see) sebelum melakukan tindakan nyata. Sebab bisa jadi perubahan struktur, fungsi, finansial dan personalia tidak diikuti oleh perubahan kulturnya; tetapi bisa jadi juga perubahan struktur, fungsi, financial dan personalia yang dikuti oleh perubahan kulturnya hanya bersifat sementara dan semu (pseudo) karena mengandung unsur keterpaksaan dan dipaksa oleh tuntutan reformasi massa. Jika hal ini yang terjadi, maka apa yang dimaksud dengan reformasi administrasi (birokrasi) akan bersifat retorika belaka dan tidak autonomous (murni).




DAFTAR PUSTAKA

Almond, Grabiel A, 1960, The Politics of Developing Areas, Princeton University Press.
Caiden, Gerald, 1986, Public Administration, dalam MZ.Lawang, Pengantar Administrasi Negara, Universitas Terbuka, Jakarta.
Effendi, Sofian, 1993, Strategi Administrasi dan Pemerataan Akses pada Pelayanan Publik Indonesia, Laporan Hasil Penelitian, Fisipol UGM, Yogyakarta.
Hardjosoekarto, Sudarsono, 1994, Beberapa Perspektif Pelayanan Prima, Bisnis dan Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Nomor 3/Volume II/September 1994, Universitas Indonesia.
Heady, Ferrel and Sybil l. Stokes (ed), 1962, Papers in Comparative Public Administration, The University of Michigan, Institute of Public Administration, Ann Arbor, Michigan.
Kristiadi,JB, Revitalisasi Birokrasi dalam Meningkatkan Pelayanan Prima, Bisnis dan Birokrasi, Jurna Ilmu Administrasi dan Organisasi, Nomer 3/Volume II/September 1994, Universitas Indonesia.
Luthan, Fred, 1995, Organizational Behavior, Mc.Graw Hill Interntional. Moenir, H.AS
Osborne.D and T.Gaebler, 1992, Reinventing Government; How The Enterpreneurial Spirit is Transforming The Public Sector, Rending Mass: Addison-Wesley.


* Tulisan masuk dalam Jurnal Ilmiah Badan Diklat Prov. Sulut
** Widyaiswara pada Badan Diklat Prov. Sulut

Rabu, 11 Desember 2013

PENGEMBANGAN SDM APARATUR DAN SISTEM DIKLAT BERBASIS KOMPETENSI*

Oleh : JOHNLY HARLY TANGKILISAN**

 
A.      LATAR BELAKANG

Foto: Diklat Pengembangan Kompetensi Widyaisawa Muda Kementerian Dalam Negeri Regional Bandung 2013
Perubahan sistem pemerintahan daerah, sejak berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1999 yang kemudian disempurnakan dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah, berimplikasi pada perubahan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1974 menjadi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian.

Perubahan regulasi tersebut yang paling mendasar adalah bagaimana manajemen kepegawaian yang lebih berorientasi kepada profesionalisme Sumber Daya Manusia (SDM) aparatur yang bertugas memberikan pelayanan kepada masyarakat secara jujur, adil, dan merata dalam penyelenggaraan tugas negara, pemerintahan dan pembangunan. Untuk melaksanakan tugas pelayanan masyarakat dimaksud, SDM aparatur dituntut memiliki profesionalisme, memiliki wawasan global, dan mampu berperan sebagai unsur perekat Negara Kesatuan Republik Indonesa.

Hal tersebut memberikan dorongan untuk melakukan perubahan pada SDM aparatur, dimana kita menyebutnya dengan istilah Reformasi Birokrasi. Reformasi Birokrasi pada hakekatnya merupakan upaya untuk melakukan perubahan terencana terhadap tatanan penyelenggaraan pemerintahan, terutama dalam aspek penataan kelembagaan, penataan ketatalaksanaan, dan penataan manajemen sumber daya manusia aparatur.

Tujuan Reformasi Birokrasi adalah meningkatkan profesionalisme dan integritas birokrasi pemerintah. Salah satu agenda implementasi reformasi birokrasi adalah penataan manajemen Sumber Daya Manusia Aparatur. Dalam konteks ini diharapkan setiap aparatur pemerintah harus memiliki kompetensi profesional dalam melaksanakan tugas jabatannya.

Manifestasi tersebut mengisyaratkan bahwa pembinaan dan pengembangan SDM aparatur perlu terus mendapat perhatian, berkaitan dengan strategi peningkatan kualitas dan kompetensinya dalam memenuhi tugas dan tanggung jawab pelayanan publik. Dipahami bahwa kualitas aparatur itu sendiri tidak mungkin meningkat tanpa adanya usaha-usaha yang konkrit. Membentuk sosok SDM aparatur memang memerlukan waktu dan proses serta upaya yang tidak boleh berhenti. Perubahan yang segera dapat dilakukan adalah peningkatan kemampuan atau kompetensi aparatur melalui pendidikan dan pelatihan melalui kebijakan penarapan sistem pendidikan dan pelatihan berbasis kompetensi yang pedomannya tertuang dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri RI Nomor 2 Tahun 2013 tentang Pedoman Pengembangan Sistem Pendidikan Dan Pelatihan Berbasis Kompetensi Di Lingkungan Kementerian Dalam Negeri Dan Pemerintahan Daerah.

B.      RUMUSAN MASALAH

Bagaimana Sistem Pendidikan dan Pelatihan Berbasis Kompetensi yang diharapkan berdampak baik terhadap pengembangan Sumber Daya Manusia Aparatur di Lingkungan Kementerian dan Pemerintah Daerah.

C.      TUJUAN PENULISAN

Tujuan dari pada penulisan Artikel ini adalah memberikan gambaran terhadap pengembangan Sumber Daya Manusia Aparatur melalui grand desain Sistem Pendidikan dan Pelatihan Berbasis Kompetensi kepada segenap aparatur / Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Kementerian Dalam Negeri tetapi juga Pemerintahan Daerah.

D.      METODE PENULISAN

Berdasarkan latar belakang, rumusan masalah serta tujuan penulisan artikel ini maka metode penulisan dilakukan secara kualitatif melalui kajian literatur kebijakan peraturan mengenai kepegawaian dan ke-diklat-an.

E.       KAJIAN TEORI

Dalam Undang-undang RI Nomor 43 Tahun 1999 tetang Pokok-pokok Kepegawaian  pada pasal 3 ayat 1 undang-undang tersebut menyatakan bahwa Pegawai Negeri berkedudukan sebagai unsur aparatur negara yang bertugas untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional, jujur, adil, dan merata dalam penyelenggaraan tugas negara, pemerintahan, dan pembangunan. Itu artinya bahwa Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai aparatur negara mau tidak mau harus mereformasi dirinya atau setidaknya melakukan peningkatan kompetensi demi kepentingan negara.

Kebijakan pemerintah dalam peningkatan Kompetensi PNS sebagai aparatur negara di antaranya melalui Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) sebagaimana amanah Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000 tentang Pendidikan dan Pelatihan Jabatan Pegawai Negeri Sipil, di mana pada Bab II pasal 2 menyatakan bahwa Diklat bertujuan meningkatkan pengetahuan, keahlian, keterampilan, dan sikap untuk  dapat melaksanakan tugas jabatan secara profesional dengan dilandasi etika PNS sesuai dengan kebutuhan instansi; menciptakan aparatur yang mampu berperan sebagai pembaharu dan perekat persatuan dan kesatuan bangsa; memantapkan dan semangat pengabdian  yang  berorientasi pada pelayanan, pengayoman, dan pemberdayaan masyarakat; menciptakan  kesamaan visi dan dinamika pola pikir dalam tugas pemerintahan umum dan pembangunan demi  terwujudnya kepemerintahan yang baik.

Di samping itu dalam rangka meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemerintah di mana diperlukan aparatur yang kompeten dan profesional maka lahirlah Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik indonesia nomor 2 Tahun 2013 tentang Pedoman Pengembangan Sistem Pendidikan Dan Pelatihan Berbasis Kompetensi Di Lingkungan Kementerian Dalam Negeri Dan Pemerintahan Daerah.

Pada pasal 3 Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia tersebut menyatakan bahwa penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan bagi aparatur dilaksanakan melalui Sistem Pendidikan dan Pelatihan Berbasis Kompetensi. Sistem tersebut meliputi: Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia Pemerintahan Dalam Negeri; Standar  Kompetensi Kerja Khusus Aparatur Pemerintahan Dalam Negeri; Pendidikan dan Pelatihan Berbasis Kompetensi; dan Uji Kompetensi dan Sertifikasi Berbasis Kompetensi.

Dalam rangka sinergitas implementasi Kebijakan Sistem Pendidikan dan Pelatihan Berbasis Kompetensi dengan perencanaan pembangunan tahunan antar pusat dan daerah serta antar daerah, maka lahir pula Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2013 tentang Pedoman Penyusunan, Pengendalian Dan Evaluasi Rencana Kerja Pembangunan Daerah Tahun 2014. Dengan adanya sinergitas kebijakan maka manajemen Pegawai Negeri Sipil sebagai aparatur negara dalam upaya untuk meningkatkan efisiensi, efektivitas dan profesionalisme penyelenggaraan tugas dapat terpenuhi.


F.       PEMBAHASAN

1.       Pengembangan  Sumber Daya Manusia Aparatur

Pengembangan Sumber Daya Manusia Aparatur merupakan bagian penting dalam rangka pencapaian tujuan organisasi baik organisasi berskala kecil maupun besar, hal tersebut berkaitan dengan ketersediaan tenaga – tenaga yang memiliki  kemampuan mendukung kinerja organisasi dalam mencapai tujuan yang direncanakan.

Pemerintah Daerah yang juga merupakan organisasi pelayanan publik yang juga mengedepankan faktor sumber daya manusia dalam pencapaian tujuan organisasinya. Hal ini mungkin dapat dilihat dari visi dan misi di setiap Pemerintah daerah. Badan Kepegawaian Daerah merupakan unit pelaksana teknis yang membantu Gubernur/Bupati/Walikota untuk melaksanakan penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah di bidang kepegawaian. BKD dalam hubungannya dengan pengembangan sumber daya aparatur adalah melaksanakan administrasi perencanaan dan pengembangan karir PNS yang tepat berdasarkan kompetensi sesuai ketentuan, dengan tujuan dan sasaran berikut :

o   Mewujudkan pengadaan CPNS sesuai kebutuhan organisasi;

o   Meningkatkan sistem rekrutmen pengembangan karir PNS;

o   Mewujudkan PNS yang memiliki kompetensi dalam menduduki jabatan;

o   Menciptakan SDM Aparatur yang berkualitas, dsb.


Program Pengembangan SDM Aparatur melalui Pendidikan dan Pelatihan terkait Pemerintah Provinsi, Kabupaten/ Kota sebagaimana grand desain reformasi Diklat Aparatur ke depan baik di lingkungan Kementerian Dalam Negeri maupun Pemerintah Daerah ekspektasinya adalah terciptanya SDM aparatur yang memiliki kompetensi teknis fungsional.


2.       Sistem Diklat Berbasis Kompetensi

Dalam rangka meningkatkan profesionalisme penyelenggaraan pemerintahan di lingkungan pemerintah daerah, Menteri Dalam Negeri selaku koordinator pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah di tingkat nasional telah menetapkan Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 2 Tahun 2013 tentang pedoman pengembangan sistem pendidikan dan pelatihan berbasis kompetensi di lingkungan kementerian dalam negeri dan pemerintah daerah. Peraturan tersebut merupakan grand desain reformasi diklat aparatur di lingkungan kementerian dalam negeri dan pemerintah daerah yang dilaksanakan sebagai salah satu instrument pembinaan penyelenggaraan pemerintah daerah sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah nomor 79 Tahun 2008 tentang Pedoman dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah.

Sistem Diklat berbasis kompetensi bertujuan meningkatkan kompetensi peserta diklat sesuai jenis dan jenjang diklat yang diikuti sehingga mereka mampu dan terampil mengaktualisasikan kompetensi jabatan dalam pekerjaannya.

Karakteristik kompetensi dapat digolongkan dalam 5 tipe;

o   Motivasi,

o   Sifat/watak (peka terhadap situasi),

o   Konsep diri; nilai-nilai/citra diri yg dimiliki,

o   Pengetahuan.

Prinsip Pembelajaran Berbasis Kompetensi adalah:


o   Berpusat pd individu

o   Fokus pada penguasaan kompetensi

o   Tujuan pembelajaran spesifik

o   Penekanan pada unjuk kerja

o   Pembelajaran bersifat individual

o   Interaksi “aktif “

o   Pengajar berfungsi sbg fasilitator

o   Berorientasi pd kebutuhan individu

        Sistem diklat berbasis kompetensi sebagaimana amanah Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 2 Tahun 2013 terdiri dari empat sub sistem yang saling berkaitan, yaitu:

1.      Kerangka kualifikasi Nasional Indonesia Pemerintahan Dalam Negeri (KKNIPDN);

2.      Standar kompetensi kerja khusus aparatur pemerintahan dalam negeri (SK3APDN);

3.      Pendidikan dan Pelatihan Berbasis Kompetensi;

4.      Uji Kompetensi dan Sertifikasi berbasis Kompetensi.


Kerangka kualifikasi nasional Indonesia pemerintahan dalam negeri, yang selanjutnya disingkat KKNIPDN, merupakan kerangka penjenjangan kualifikasi kompetensi yang dapat menyandingkan, menyetarakan dan mengintegrasikan antara bidang pendidikan dan bidang pendidikan dan pelatihan, dan pengalaman kerja dalam rangka pemberian pengakuan kompetensi kerja di lingkungan pemerintahan daerah yang disusun berdasarkan Peraturan Presiden nomor 8 Tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia.

          Standar kompetensi kerja khusus aparatur pemerintahan dalam negeri yang selanjutnya disingkat SK3APDN adalah rumusan kemampuan kerja aparatur yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan dan/ keahlian serta sikap perilaku yang diuperlukan untuk melaksanakan tugas dan syarat jabatan secara professional di bidang urusan pemerintahan dalam negeri yang ditetapkan oleh Menteri.

          Kesenjangan kompetensi aparatur dapat ditingkatkan melalui pendidikan dan pelatihan berbasis kompetensi kerja. Diklat ini pada penguasaan kemampuan kerja yang mencakup pengetahuan, keterampilan dan sikap sesuai dengan standar yang ditetapkan dan persyaratan kerja di lingkungan Kementerian dalam negeri dan pemerintahan daerah.

          Untuk memastikan penguasan kompetensi, dilaksanakan uji kompetensi kerja sebagai dasar pemberian sertifikat kompetensi yang dilakukan secara sistematis dan objektif melalui uji kompetensi dan/ verifikasi sesuai dengan SK3APDN, SKKNI dan/ standar internasional.

          Implementasi Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 2 Tahun 2013 tersebut akan menjadi instrument dalam rangka memetakan kapasitas sumber daya manusia peyelenggara pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2013 tentang kerangka nasional pengemabangan kapasitas, sehingga dapat disusun rencana tindak peningkatan kapasitas sumber daya manusia yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan bidang, sub bidang dan sub sub bidang urusan pemerintahan.

3.       Reformasi Diklat Aparatur dan Tujuannya

          Implementasi reformasi diklat aparatur di lingkungan kementerian dalam negeri dan pemerintahan daerah akan memberikan dampak yang positif bagi pengembangan Sumber Daya Manusia Aparatur di daerah, di mana implementasinya memiliki tujuan:

  1.      Terbangunnya kesiapan pemerintahan daerah provinsi untuk membentuk Lembaga Sertifikasi Profesi Pemerintah Daerah (LSP-Pemda) cabang Provinsi sebagai unit non struktural yang akan melaksanakan uji dan sertifikasi kompetensi di lingkungan masing-masing melalui penyusunan dokumen mutu seertifikasi untuk operasionalisasi LSP Pemda cabang Provinsi yang kredibel dan professional. Dan ini ditunjang oleh system sertifikasi yang tertelusur dan terdokumentasi secara benar dan akurat.

2.      Mempersiapkan SDM pengelola LSP Pemda cabang Provinsi yang siap melaksanakan dan mengelola sertifikasi kompetensi penyelenggara pemerintahan daerah sesuai dengan berbagai kebijakan yang telah ditetapkan. Adapun kualifikasi sumber daya manusia pengelola LSP Pemda cabang Provinsi;

a.      asesor kompetensi;

b.      auditor sertifikasi;

c.      tenaga pengembangan dokumen mutu sertifikasi.

3.      Memfasilitasi terlaksananya proses uji kompetensi dan sertifikasi penyelenggara pemerintahan daerah, khususnya pengawas pemerintahan dan pengelola barang milik daerah, melalui proses pendampingan dari tim kementerian dalam negeri.


G.      PENUTUP

           Membangun SDM Aparatur pada hakekatnya adalah membangun keunggulan kompetensi diri dari SDM aparatur itu sendiri sesuai bidang tugas dan kegiatan yang dilakukan.

Tiga variabel keunggulan dasar yaitu :

o   Keunggulan pengetahuan

o   Keunggulan ketrampilan

o   Keunggulan sikap mental

          Keunggulan tersebut dapat dicapai melalui pengembangan program SDM aparatur yang memadai. Pengembangan program SDM  aparatur  yang memadai akan menghasilkan keluaran yang berkualitas dengan melihat indikator yang dihasilkan yakni :

o   Tingkat peningkatan kompetensi diri yang diperoleh melalui diklat yang dilaksanakan sesuai standar pencapaian.

o   Tingkat pendayagunaan serta kontribusi yang mampu diberikan dari para lulusan diklat.

Ketika PNS sebagai aparatur negara siap mereformasi dirinya atau dengan melakukan peningkatan kompetensi maka apa yang kita harapkan dalam pengembangan SDM aparatur tidak lagi sekadar menjadi suatu keniscayaan tetapi kenyataan.

Sehingga untuk mendukung implementasi Peraturan Menteri dalam Negeri nomor 2 Tahun 2013 dan bisa sejalan dengan Peraturan Menteri dalam Negeri nomor 23 Tahun 2013 tentang Pengendalian Rencana Kerja Pemerintah Daerah Tahun 2014, maka Pejabat Publik di daerah sekiranya dapat mengambil langkah-langkah berikut: menyelenggarakan diklat berbasis kompetensi bagi aparatur; melaksanakan uji kompetensi dan sertifikasi bagi aparatur pemerintah daerah; membentuk lembaga sertifikasi profesi pemerintah daerah; meningkatkan kemampuan tenaga pengajar dan pengelola diklat; serta mengkoordinasikan dan mengintegrasikan seluruh kegiatan diklat di pusat dan daerah. Dengan begitu maka ekspaktasi kita bahwa aparatur di lingkungan pemerintah daerah dapat lebih kompeten dan professional dalam melaksanakan urusan pemerintahan.
   
H.      DAFTAR PUSTAKA

Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999

Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000

Peraturan Pemerintah nomor 79 Tahun 2008

Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2013

          Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 2013

          Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 23 Tahun 2013

            *    Tulisan ini masuk dalam Jurnal Kediklatan Kementerian Dalam Negeri Regional Bandung 2013
            ** Widyaiswara Badan Diklat Prov. Sulut

Download Peraturan silahkan klik Link di bawah ini: