Slide Presentasi Operasionalisasi Pelayanan Prima
Download jo di sini:
Reformasi birokrasi di Indonesia diarahkan
pada perubahan dalam pelayanan kepada masyarakat, termasuk di dalamnya aparat
yang dalam struktur organisasi birokrasi. Perubahan masyarakat diarahkan pada
development. Karl Mannheim sebagaimana disitir oleh Susanto (1977) bahwa
perubahan masyarakat adalah berkaitan dengan norma-normanya. Development adalah
perkembangan yang tertuju pada kemajuan keadaan dan hidup anggota masyarakat,
dimana kemajuan kehidupan ini akhirnya juga dinikmati oleh masyarakat.
Dengan demikian maka perubahan masyarakat
dijadikan sebagai peningkatan martabat manusia, sehingga hakekatnya perubahan
masyarakat berkait erat dengan kemajuan masyarakat. Dilihat dari aspek
perkembangan masyarakat tersebut maka terjadilah keseimbangan antara tuntutan
ekonomi, politik, sosial dan hukum, keseimbangan antara hak dan kewajiban,
serta konsensus antara prinsip-prinsip dalam masyarakat.
Istilah efektivitas dan efisiensi merupakan
konsep engineering yang diadaptasi dari sector privat, yang kemudian dalam
perkembangannya diterapkan dalam sektor publik yakni pemerintah. Apabila
membicarakan efektivitas dan efisiensi maka harus dihubungkan dengan sasaran
dan tujuan yang ingin dicapai dari kegiatan tersebut. Dalam pelayanan publik
apabila kedua hal diperbandingkan maka efektivitas jauh lebih penting dari
efisiensi. Akan tetapi walaupun pelayanan publik lebih menekankan efektivitas
daripada efeisiensi, dalam tataran praktis konsep efektivitas tidak dapat
dipisahkan dari konsep efisiensi. Unsur efisiensi adalah salah satu determinan
untuk mengetahui apakah suatu kegiatan bisa dikategorikan efektif atau tidak
sebagaimana pendekatan ketiga.
Sementara itu Birokrasi diartikan sebagai
kekuasaan atau pengaruh dari para kepala dan staf biro pemerintah. Dalam
pengertian selanjutnya birokrasi adalah pegawai pemerintah, yang menjalankan
dan menyelenggarakan tugas yang ditentukan oleh konstitusi, menjalankan program
pembangunan, pelayanan publik, dan penerapan kebijakan pemerintah, yang
biasanya disebut pegawai Sipil. Dalam hal di Indonesia lebih dikenal dengan
istiah Aparatur Pemerintah. Aparatur pemerintah adalah orang-orang yang
dipercaya dan diberi mandat oleh negara dan rakyat untuk mengelola
pemerintahannya guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian
maka efektivitasnya harus diukur berdasarkan sejauh mana kemampuan pemerintah
meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya, dan ukurannya antara lain adalah
seberapa tinggi tingkat pelayanan kepada masyarakat baik dibidang kesehatan,
pendidikan dan lainnya (Gaspersz, 2002).
Segala bentuk upaya pemerintah dalam
mengeluarkan produk kebijakannya semata-mata dimaknai sebagai manifestasi dari
fungsi melayani orang banyak. Walaupun persepsi ini mengandung titik–titik
kelemahan, namun sampai saat ini pemerintah yang diwakili oleh institusi
birokrasi tetap saja diakui sebagai motor penggerak pembangunan. Pemaknaan
birokrasi sebagai organ pelayanan bagi masyarakat luas tentu merupakan
pemaknaan yang bersifat idealis, dan pemaknaan ideal terhadap fungsi pelayanan
yang diperankan birokrasi tidaklah bisa menjelaskan orientasi birokrasi.
Pola patron-client yang kental menjadikan ciri
birokrasi menjadi berdampak mematikan inisiatif masyarakat, kualitas pelayanan
masyarakat menjadi tidak efisien, karena praktek birokrasi yang terlalu
hirearkis sehingga keputusan selalu ada di pejabat atas. Hal ini akan berakibat
juga kreativitas, inisiatif dan sikap kemandirian birokrasi dalam memberikan
pelayanan menjadi kurang, sehingga pelayanan dinilai oleh masyarakat menjadi
lamban dan berbelit-belit. Segi yang lain terjadilah pelayanan yang high cost karena
agar cepat client diwajibkan untuk memenuhi persyaratan-persyaratan yang
sengaja dibuat agar menyulitkan pelanggan (Rozi, 2006).
Birokrasi di Indonesia masih tampak menjaga
jarak sosial (social distance) yang terlalu jauh dengan kelompok sasarannya yakni
publik dan pengguna jasa layanan, sehingga rakyat nyaris dalam situasi yang
tidak berdaya (powerless) dan tidak memiliki pilihan (Tjokrowinoto, 2001).
Dengan kondisi yang demikian itulah maka penerapan organisasi pelayanan publik
yang berorientasi pada kemanusiaan akan sulit dilakukan. Budaya dasar birokrasi
lebih banyak bersandar pada etos feodalisme.
Lalu pertanyaanya bagaimana upaya yang
dilakukan agar birokrasi mampu melaksanakan misi utama yakni memberikan
pelayanan secara efektif dan efisien kepada masyarakat. Jawabannya harus dengan
melakukan perubahan atau reformasi, bukan saja terbatas pada proses dan
prosedur, tetapi juga mengaitkan perubahan pada tingkat struktur, sikap dan
tingkah laku/etika (the ethics being). Upaya reformasi yang berkaitan
dengan proses dan prosedur relatif lebih mudah dilakukan, karena sebagian besar
berkait dengan proses adminiistrasi, akan tetapi yang lebih fundamental adalah
bagaimana melakukan perubahan sikap dan perilaku (the ethics being),
sehingga birokrasi sebagai mesin pemerintah dapat berjalan dengan baik menuju
ke tujuan yakni meningkatnya
kesejahteraan masyarakat tanpa melakukan hal-hal yang tidak baik yang
bertentangan dengan moral dan etika.
Dimensi etika berkaitan dengan skill based
issues yang selama ini kurang tersentuh sebagai wacana perubahan. Terlebih di
Indonesia dimana masyarakatnya adalah masyarakat paternalistik yang banyak
bergantung pada dimensi para pemimpin sebagai panutan, termasuk didalamya dalam
melakukan tugas penyelenggaraan negara. Dalam konteks ini etika merupakan
nilai-nilai moral yang mengikat seseorang atau sekelompok orang dalam mengatur
sikap, perilaku tindakan dan ucapannya dalam melaksanakan tugas, kewenangan dan
fungsinya. Suatu profesi selalu memerlukan landasan etika yang menjadi acuan
untuk bertindak anggotanya sehingga citra, kehormatan dan eksisitensinya
terjaga. Pernyataan moral merupakan sesuatu yang normatif, pernyataan normatif
berarti mengandung penilaian apa yang baik dan apa yang buruk.
Sebagaimana disitir dari Sunaryati Hartono,
makna etika mengandung moral, keinginan untuk maju, semakin sejahtera dan
semakin makmur dan hidup tertatur damai, sebagai perilaku, baik masyarakat dan
negara. Oleh karenanya maka setiap penyelenggara negara harus berakhlak mulia,
tepat janji, jujur, disiplin, adil, taat hukum, hati-hati dan cermat, sopan
santun, dan kesetaraan. Untuk dapat melakukan itu maka perubahan cara berfikir
birokrasi harus dilakukan. Perubahan etika ini akan berkaitan dengan perubahan
budaya organisasinya yakni budaya yang diperlakukan sebagai sikap dan perilaku
individu dan kelompok aparatur negara yang dilandasi oleh nilai-nilai yang
diyakini kebenarannya dan telah menjadi sifat serta kebiasaan dalam
melaksanakan tugas pekerjannya setiap hari. Pelaksanaan budaya kerja ini
seharusnya dilakukan sebagai langkah awal dalam melaksanakan reformasi
birokrasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar