Oleh: J. Harly Tangkilisan **
abstrak
Public
service as a process of organizational performance (bureaucracy), attachment
and influence organizational culture is very strong. In other words, any activities
undertaken by public service officials should be guided by the signs of
normative rules that have been determined by public organizations as the
embodiment of a culture of public organizations.
Bureaucratic model of public service is suitable for cultural bureaucratic hierarchical society ; privatization model of public services is suitable for the culture of individual communities (anti- hierarchica; public service collective model is suitable for fatalist culture (which supports hierarchical culture and anti- culture of people); while the public service requires fast service and open model suitable for culture egalitarian society (anti-culture hierarchical, anti-cultural and anti-cultural individuals fatalist.
Kata Kunci: Bureaucracy, Public, Service, Society
Adanya wacana mengenai ketidak-berdayaan
administrasi negara melalui birokrasinya dalam menghadapi masalah-masalah
sosial, ekonomi dan politik sudah dirasakan sejak lama. Kondisi semacam ini
dalam perdebatan administrasi negara sering disebut sebagai “Krisis
Identitas” yang mempertanyakan kecenderungan peran dan posisi administrasi
negara sebagai ilmu (science) ataukah sebagai praktek (art). Kesan semacam ini
didukung oleh adanya fakta tumpang tindihnya antara posisi peran ilmu politik
(ilmu pemerintahan) dan ilmu ekonomi (ilmu manajemen) dengan ilmu administrasi
dalam praktekpraktek administrasi negara yang terkesan bersifat legal formal,
spesifik, bernuansa budaya sentris, sampai dengan anggapan bahwa administrasi Negara
tidak memiliki persyaratan ilmiah dan teoritisasi yang sifatnya berlaku umum.
Oleh karena itu Robert Dahl (1947)
menyarankan adanya studi perbandingan administrasi negara (atau studi
perbandingan birokrasi) yang mampu melakukan terobosan, terutama dalam menjawab
tantangan-tantangan pembangunan yakni masalah kemiskinan dan ketidakadilan
sosial, terutama yang terjadi di negara-negara berkembang dan negara-negara
miskin. Produk dari pemikiran ini, kemudian berkembang dan melahirkan paradigma
administrasi pembangunan (development administration paradigm) yang dibentuk
oleh Ikatan Sarjana Administrasi Pembangunan Asia di Teheran (1966) yang
bergerak dalam bidang penyempurnaan administrasi negara di wilayah timur. Salah
satu orientasinya adalah bagaimana administrasi negara mampu mengembangkan
dirinya dalam melaksanakan fungsi-fungsi pembangunan, terutama dalam hal
pelayanan publik yang dapat dipertanggung jawabkan (responsibelity), memiliki
daya tanggap yang kuat (responsivity) dan mampu mewakili kepentingan masyarakat
(representativity) berdasar ketentuan hukum dan aturan yang berlaku dengan
pancaran hati nurani (akuntabelity) . Oleh sebab itu, pergeseran pemikiran
administrasi semacam ini seharusnya tidak hanya membawa konsekuensi terhadap
perubahan struktur, fungsi, financial dan personalia dari organisasi
birokrasi itu saja, tetapi yang lebih penting bagaimana perubahan struktur,
fungsi, finansial dan personalia organisasi birokrasi mampu diikuti oleh
perubahan kultur organisasi birokrasi dan perilaku manusia-manusia yang
terlibat di dalamnya. Apabila perubahan ini dapat terwujud, maka apa yang
diharapkan dalam orientasi efektivitas pelayanan publik, akan dapat tercapai.
II. PEMBAHASAN
A.
TEORI PELAYANAN PUBLIK
Jika pelayanan publik sebagai produk dari
orientasi pemikiran administrasi pembangunan, dan administrasi pembangunan
sebagai orientasi baru dari reformasi administrasi negara; maka muncul
pertanyaan, adakah teori khusus yang berkaitan dengan pelayanan publik ?
Gerald Caiden (1986) sebagai seorang pakar
administrasi negara pernah menyindir tentang keberadaan teori administrasi
negara ini. Menurut Caiden, administrasi
negara itu terlalu banyak teori, tetapi tidak terdapat satu teoripun yang dapat
diberlakukan secara umum dari administrasi negara. Hal yang bernada sama
pernah disampaikan pula oleh Fred.W Riggs (1964) dan Ferrel Heady (1966) yang
mempertanyakan perihal isi dan kecenderungan dari teori administrasi
negara yang dianggapnya tidak jelas metodologinya.
Di pihak lain, dalam beberapa literatur
pelayanan publik lebih dikenal sebagai tatanan konsep daripada tatanan teori
(Thoha,1992; Munafe,1966; Djumara,1994; Hardjosoekarso, Kristiadi dan
Saragih,1994). Oleh karena itu istilah pelayanan publik disebut juga dengan
istilah pelayanan kepada orang banyak (masyarakat), pelayanan sosial, pelayanan
umum dan pelayanan prima. Pernyataan semacam ini sekaligus menambah adanya
kerancuan ontologis (apa, mengapa), epistemologis (bagaimana) dan axiologis
(untuk apa) dalam memperbincangkan teori yang berkaitan dengan pelayanan
publik.
Secara ideal, persyaratan teori administrasi
yang menyangkut pelayanan publik antara lain :
1.Harus
mampu menyatakan sesuatu yang berarti dan bermakna yang dapat diterapkan pada
situasi kehidupan nyata dalam masyarakat (konteksual).
2. Harus
mampu menyajikan suatu perspektif kedepan.
3.Harus
dapat mendorong lahirnya cara-cara atau metode baru dalam situasi dan kondisi
yang berbeda.
4.Teori
administrasi yang sudah ada harus dapat merupakan dasar untuk mengembangkan
teori administrasi lainnya, khususnya pelayanan publik.
5.Harus
dapat membantu pemakainya untuk menjelaskan dan meramalkan fenomena yang
dihadapi.
6.
Bersifat multi disipliner dan multi dimensional (komprehensif).
Berpedoman dari persyaratan di atas, maka
Ferrel Heady (1966) menyarankan adanya:
a.
Tindakan modifikasi terhadap teori administrasi negara klasik/ tradisional.
b.
Perubahan isi dari teori administrasi yang lebih diorientasikan kepada kepentingan
pembangunan.
c.
Melakukan redifinisi secara umum terhadap sistem dan model-model pengembangan.
d.
Menemukan perumusan baru teori administrasi yang bersifat middle range theory.
Adapun Fred. W Riggs (1964) menyarankan
adanya pergeseran pendekatan metodologi penelitian administrasi (khususnya yang
berkaitan dengan pengamatan fenomena pelayanan publik) dari :
(1)
Pendekatan normatif ke pendekatan empiris;
(2)
Pendekatan ideografik ke pendekatan nomotetik;
(3)
Pendekatan struktural ke pendekatan ekologi, dan
(4)
Pendekatan behavior ke pendekatan post-behavior (pendekatan analogi).
Apabila hal-hal tersebut dapat dilakukan,
maka diharapkan studi administrasi negara:
(a) Mampu menciptakan
konsep dan teori-teori baru yang dapat menerobos batas-batas kebudayaan,
(b) Mampu
membandingkan ketentuan-ketentuan formal, hukum-hukum dan peraturan-peraturan
yang ada sebagai landasan perumusan keputusan dan kebijaksanaan (pelayanan
publik),
(c) Mampu bertindak sesuai dengan kajian
fakta dan data di lapangan.
Kesimpulan sementara yang dapat diambil
apabila administrasi negara ingin menemukan identitas teori-teori yang
berkaitan dengan pelayanan publik, maka perlu adanya kegiatan studi
komparatif administrasi negara dalam bidang pelayanan publik dan
meningkatkan kegiatan penelitian atau riset lapangan yang berkaitan
dengan proses perumusan kebijakan pelayanan publik, proses implementasi
pelayanan publik dan evaluasi produk pelayanan publik.
B.
BUDAYA BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK
Ada asumsi menarik yang dipertanyakan, Apakah budaya organisasi birokrasi
mempengaruhi proses pelayanan publik, ataukah tradisi pelayanan publik akan
mempengaruhi dan menciptakan budaya organisasi birokrasi ?
Jika yang pertama muncul maka akan terjadi
stagnasi dan kekuatan status quo dalam organisasi birokrasi; tetapi jika yang
kedua muncul maka akan tercipta perubahan dan pengembangan organisasi birokrasi
yang dinamis.
Budaya organisasi (birokrasi) merupakan
kesepakatan bersama tentang nilai-nilai bersama dalam kehidupan organisasi dan
mengikat semua orang dalam organisasi yang bersangkutan (Sondang P. Siagian,1995).
Oleh karena itu budaya organisasi birokrasi akan menentukan apa yang boleh dan
tidak boleh dilakukan oleh para anggota organisasi; menentukan batas-batas
normatif perilaku anggota organisasai; menentukan sifat dan bentuk-bentuk pengendalian
dan pengawasan organisasi; menentukan gaya manajerial yang dapat diterima oleh
para anggota organisasi; menentukan cara-cara kerja yang tepat, dan sebagainya.
Secara spesifik peran penting yang dimainkan oleh budaya organisasi (birokrasi)
adalah membantu menciptakan rasa memiliki terhadap organisasi; menciptakan jati
diri para anggota organisasi; menciptakan keterikatan emosional antara
organisasi dan pekerja yang terlibat didalamnya; membantu menciptakan
stabilitas organisasi sebagai sistem sosial; dan menemukan pola pedoman
perilaku sebagai hasil dari norma-norma kebiasaan yang terbentuk dalam
keseharian.
Begitu kuatnya pengaruh budaya organisasi
(birokrasi) terhadap perilaku para anggota organisasi, maka budaya organisasi
(birokrasi) mampu menetapkan tapal batas untuk membedakan dengan organisasi
(birokrasi) lain; mampu membentuk identitas organisasi dan identitas
kepribadian anggota organisasi; mampu mempermudah terciptanya komitmen
organisasi daripada komitmen yang bersifat kepentingan individu; mampu
meningkatkan kemantapan keterikatan sistem sosial; dan mampu berfungsi sebagai
mekanisme pembuatan makna dan simbol-simbol kendali perilaku para anggota
organisasi.
Pelayanan publik sebagai suatu proses kinerja
organisasi (birokrasi), keterikatan dan pengaruh budaya organisasi sangatlah
kuat. Dengan kata lain, apapun kegiatan yang dilakukan oleh aparat pelayanan
publik haruslah berpedoman pada rambu-rambu aturan normatif yang telah
ditentukan oleh organisasi publik sebagai perwujudan dari budaya organisasi
publik. Oleh karena itu Dennis A. Rondinelli
(1981) pernah mengingatkan bahwa penyebab kegagalan utama dalam
melaksanakan orientasi pelayanan publik ini (jelasnya, tugas desentralisasi)
adalah : Kuatnya komitmen budaya politik yang bernuansa sempit; kurangnya
tenaga-tenaga kerja yang terlatih dan trampil dalam unit-unit lokal; kurangnya
sumber-sumber dana untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawab; adanya sikap
keengganan untuk melakukan delegasi wewenang; dan kurangnya infrastruktur
teknologi dan infra struktur fisik dalam menunjang pelaksanaan tugas-tugas
pelayanan publik. Demikian juga Malcolm
Walters (1994) menambahkan bahwa kegagalan daripada pelayanan publik ini
disebabkan karena aparat (birokrasi) tidak menyadari adanya perubahan dan pergeseran
yang terjadi dalam budaya masyarakatnya dari budaya yang bersifat hirarkhis,
budaya yang bersifat individual, budaya yang bersifat fatalis, dan budaya yang
bersifat egaliter. Pelayanan publik yang modelnya birokratis cocok untuk budaya
masyarakat hirarkhis; pelayanan publik yang modelnya privatisasi cocok untuk
budaya masyarakat individual (yang anti hirarkhis); pelayanan publik yang
modelnya kolektif cocok untuk budaya masyarakat fatalis (yang mendukung budaya
hirarkhis dan anti budaya individu); sedangkan pelayanan publik yang modelnya
memerlukan pelayanan cepat dan terbuka cocok untuk budaya masyarakat egaliter
(yang anti budaya hirarkhis, anti budaya individu dan anti budaya fatalis).
Masalahnya sekarang, untuk masyarakat
Indonesia dewasa ini tergolong dalam kategori budaya masyarakat yang mana ? Ini
harus dipahami ! (Dapat dibilang bahwa masyarakat Indonesia saat ini sudah
memasuki era budaya masyarakat egaliter; oleh karenanya bentuk pelayanan publik
yang cocok adalah model pelayanan cepat dan terbuka). Menurut Grabiel A. Almond (1960) proses
perubahan pembudayaan ini harus disebar-luaskan atau disosialisasikan secara
merata kepada masyarakat, dicarikan rekruitmen tenaga-tenaga kerja (birokrasi)
yang profesional, dipahami atau diartikulasikan secara tepat dan benar,
ditumbuh kembangkan sebagai kepentingan masyarakat secara umum, dan
dikomunikasikan secara dialogis. Hasil dari proses pembudayaan diharapkan mampu
menciptakan pengambilan keputusan/ kebijaksanaan yang benar, menciptakan terbentuknya
kelompok pelaksana kerja yang efektif, dan terciptanya tim pengawasan yang
bertindak jujur dan obyektif. Pada akhirnya, proses ini berujung pada proses
internalisasi kepribadian dan sinergi ekonomi masyarakat sebagai basis
utamanya.
C.
EFEKTIVITAS PELAYANAN PUBLIK
Substansi pelayanan publik selalu dikaitkan
dengan suatu kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok orang atau
instansi tertentu untuk memberikan bantuan dan kemudahan kepada masyarakat
dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Pelayanan publik ini menjadi semakin
penting karena senantiasa berhubungan dengan khalayak masyarakat ramai yang
memiliki keaneka ragaman kepentingan dan tujuan. Oleh karena itu institusi
pelayanan publik dapat dilakukan oleh pemerintah maupun non-pemerintah. Jika pemerintah,
maka organisasi birokrasi pemerintahan merupakan organisasi terdepan yang
berhubungan dengan pelayanan publik. Dan jika non-pemerintah, maka dapat
berbentuk organisasi partai politik, organisasi keagamaan, lembaga swadaya masyarakat
maupun organisasi-organisasi kemasyarakatan yang lain. Siapapun bentuk
institusi pelayanananya, maka yang terpenting adalah bagaimana memberikan
bantuan dan kemudahan kepada masyarakat dalam rangka memenuhi kebutuhan dan
kepentingannya.
Dalam kaitannya dengan penyelenggaraan
pemerintahan, birokrasi sebagai ujung tombak pelaksana pelayanan publik
mencakup berbagai program-program pembangunan dan kebijaksanaan-kebijaksanaan
pemerintah. Tetapi dalam kenyataannya, birokrasi yang dimaksudkan untuk melaksanakan
tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan tersebut, seringkali diartikulasikan
berbeda oleh masyarakat. Birokrasi di dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan
dan pembangunan (termasuk di dalamnya penyelenggaraan pelayanan publik) diberi
kesan adanya proses panjang dan berbelit-belit apabila masyarakat menyelesaikan
urusannya berkaitan dengan pelayanan aparatur pemerintahan. Akibatnya,
birokrasi selalu mendapatkan citra negatif yang tidak menguntungkan bagi
perkembangan birokrasi itu sendiri (khususnya dalam hal pelayanan publik). Oleh
karena itu, guna menanggulangi kesan buruk birokrasi seperti itu, birokrasi
perlu melakukan beberapa perubahan sikap dan perilakunya antara lain :
a.
Birokrasi harus lebih mengutamakan sifat pendekatan tugas yang diarahkan pada
hal pengayoman dan pelayanan masyarakat; dan menghindarkan kesan pendekatan
kekuasaan dan kewenangan.
b.
Birokrasi perlu melakukan penyempurnaan organisasi yang bercirikan organisasi
modern, ramping, efektif dan efesien yang mampu membedakan antara tugas-tugas
yang perlu ditangani dan yang tidak perlu ditangani (termasuk membagi
tugas-tugas yang dapat diserahkan kepada masyarakat).
c.
Birokrasi harus mampu dan mau melakukan perubahan sistem dan prosedur kerjanya
yang lebih berorientasi pada ciri-ciri organisasi modern yakni : pelayanan
cepat, tepat, akurat, terbuka dengan tetap mempertahankan kualitas, efesiensi
biaya dan ketepatan waktu.
d.
Birokrasi harus memposisikan diri sebagai fasilitator pelayan publik dari pada sebagai
agen pembaharu (agent of change) pembangunan.
e.
Birokrasi harus mampu dan mau melakukan transformasi diri dari birokrasi yang
kinerjanya kaku (rigid) menjadi organisasi birokrasi yang strukturnya lebih
desentralistis, inovatif, flrksibel dan responsif.
Dari pandangan tersebut di atas, dapat
disimpulkan bahwa organisasi birokrasi yang mampu memberikan pelayanan publik
secara efektif dan efesien kepada masyarakat, salah satunya jika strukturnya
lebih terdesentralisasi daripada tersentralisasi. Sebab, dengan struktur yang
terdesentralisasi diharapkan akan lebih mudah mengantisipasi kebutuhan dan
kepentingan yang diperlukan oleh masyarakat, sehingga dengan cepat birokrasi
dapat menyediakan pelayanannya sesuai yang diharapkan masyarakat pelanggannya.
Sedangkan dalam konteks persyaratan budaya organisasi birokrasi, perlu
dipersiapkan tenaga kerja atau aparat yang benar-benar memiliki kemampuan
(capabelity), memiliki loyalitas kepentingan (competency), dan memiliki
keterkaitan kepentingan (consistency atau coherency).
D.
TOLOK UKUR KUALITAS PELAYANAN PUBLIK
Dalam tinjauan manajemen pelayanan publik,
ciri struktur birokrasi yang terdesentralisir memiliki beberapa tujuan dan
manfaat antara lain :
(1)
Mengurangi (bahkan menghilangkan) kesenjangan peran antara organisasi pusat
dengan organisasi-organisasi pelaksana yang ada dilapangan;
(2)
Melakukan efesiensi dan penghematan alokasi penggunaan keuangan;
(3)
Mengurangi jumlah staf/aparat yang berlebihan terutama pada level atas dan
level menengah (prinsip rasionalisasi);
(4) Mendekatkan
birokrasi dengan masyarakat pelanggan.
Mencermati pandangan ini, maka dalam konteks
pelayanan publik dapat digaris-bawahi bahwa keberhasilan proses pelayanan
publik sangat tergantung pada dua pihak yaitu birokrasi (pelayan) dan
masyarakat (yang dilayani). Dengan demikian untuk melihat kualitas pelayanan
publik perlu diperhatikan dan dikaji dua aspek pokok yakni : Pertama,
aspek proses internal organisasi birokrasi (pelayan); Kedua, aspek
eksternal organisasi yakni kemanfaatan yang dirasakan oleh masyarakat
pelanggan.
Dalam hal ini Irfan Islamy (1999) menyebut
beberapa prinsip pokok yang harus dipahami oleh aparat birokrasi publik dalam
aspek internal organisasi yaitu :
(a) Prinsip
Aksestabelitas, dimana setiap jenis pelayanan harus dapat dijangkau secara
mudah oleh setiap pengguna pelayanan (misal: masalah tempat, jarak dan prosedur
pelayanan).
(b) Prinsip
Kontinuitas, yaitu bahwa setiap jenis pelayanan harus secara terus menerus
tersedia bagi masyarakat dengan kepastian dan kejelasan ketentuan yang berlaku
bagi proses pelayanan tersebut.
(c) Prinsip
Teknikalitas, yaitu bahwa setiap jenis pelayanan proses pelayanannya harus
ditangani oleh aparat yang benar-benar memahami secara teknis pelayanan
tersebut berdasarkan kejelasan, ketepatan dan kemantapan sistem, prosedur dan
instrumen pelayanan.
(e) Prinsip
Profitabilitas, yaitu bahwa proses pelayanan pada akhirnya harus dapat
dilaksanakan secara efektif dan efesien serta memberikan keuntungan ekonomis
dan sosial baik bagi pemerintah maupun bagi masyarakat luas.
(f) Prinsip Akuntabelitas, yaitu bahwa
proses, produk dan mutu pelayanan yang telah diberikan harus dapat
dipertanggung jawabkan kepada masyarakat karena aparat pemerintah itu pada
hakekatnya mempunyai tugas memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada
masyarakat.
Begitu pentingnya profesionalisasi pelayanan
publik ini, pemerintah melalui Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara
telah mengeluarkan suatu kebijaksanaan Nomor 81 Tahun 1993 tentang Pedoman
Tatalaksana Pelayanan Umum yang perlu dipedomani oleh setiap birokrasi publik
dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat berdasar prinsip-prinsip pelayanan
sebagai berikut :
(1)
Kesederhanaan, dalam arti bahwa prosedur dan tata cara pelayanan perlu ditetapkan
dan dilaksanakan secara mudah, lancar, cepat, tepat, tidak berbelit-belit,
mudah dipahami dan mudah dilaksanakan oleh masyarakat yang meminta pelayanan.
(2)
Kejelasan dan kepastian, dalam arti adanya kejelasan dan kepastian dalam
hal prosedur dan tata cara pelayanan, persyaratan pelayanan baik teknis maupun
administratif, unit kerja pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab dalam
meberikan pelayanan, rincian biaya atau tarif pelayanan dan tata cara
pembayaran, dan jangka waktu penyelesaian pelayanan.
(3)
Keamanan, dalam arti adanya proses dan produk hasil pelayanan yang dapat
memberikan keamanan, kenyamanan dan kepastian hukum bagi masyarakat.
(4)
Keterbukaan, dalam arti bahwa prosedur dan tata cara pelayanan, persyaratan,
unit kerja pejabat penanggung jawab pemberi pelayanan, waktu penyelesaian,
rincian biaya atau tarif serta hal-hal lain yang berkaitan dengan proses
pelayanan wajib diinformasikan secara terbuka agar mudah diketahui dan dipahami
oleh masyarakat, baik diminta maupun tidak diminta.
(5)
Efesiensi, dalam arti bahwa persyaratan pelayanan hanya dibatasi pada
hal-hal yang berkaitan langsung dengan pencapaian sasaran pelayanan dengan tetap
memperhatikan keterpaduan antara persyaratan dengan produk pelayanan.
(6)
Ekonomis, dalam arti bahwa pengenaan biaya atau tarif pelayanan harus ditetapkan
secara wajar dengan memperhatikan: nilai barang dan jasa pelayanan, kemampuan
masyarakat untuk membayar, dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
(7)
Keadilan dan Pemerataan, yang dimaksudkan agar jangkauan pelayanan diusahakan
seluas mungkin dengan distribusi yang merata dan adil bagi seluruh lapisan
masyarakat .
(8)
Ketepatan Waktu, dalam arti bahwa pelaksanaan pelayanan harus dapat diselesaikan
tepat pada waktu yang telah ditentukan.
Oleh karena itu dalam merespon
prinsip-prinsip pelayanan publik yang perlu dipedomani oleh segenap aparat
birokrasi peleyanan publik , maka kiranya harus disertai pula oleh sikap dan
perilaku yang santun, keramah tamahan dari aparat pelayanan publik baik dalam
cara menyampaikan sesuatu yang berkaitan dengan proses pelayanan maupun dalam
hal ketapatan waktu pelayanan. Hal ini dimungkinkan agar layanan tersebut dapat
memuaskan orang-orang atau kelompok orang yang dilayani. Ada 4 (empat)
kemungkinan yang terjadi dalam mengukur kepuasan dan kualitas pelayanan publik
ini, yaitu : (1) Bisa jadi pihak aparat birokrasi yang melayani dan pihak
masyarakat yang dilayani sama-sama dapat dengan mudah memahami kualitas
pelayanan tersebut (mutual knowledge), (2) Bisa jadi pihak aparat
birokrasi yang melayani lebih mudah memahami dan mengevaluasi kualitas
pelayanan publik daripada masyarakat pelanggan yang dilayani (producer
knowledge), (3) Bisa jadi masyarakat pelanggan yang dilayani lebih mudah
dan lebih memahami dalam mengevaluasi kualitas pelayanan yang diberikan oleh
aparat birokrasi pelayanan publik (consumer knowledge), dan (4) Bisa
jadi baik aparat birokrasi pelayanan publik maupun masyarakat yang dilayani
sama-sama tidak tahu dan mendapat kesulitan dalam mengevaluasi kualitas
pelayanan publik (mutual Ignorance). Dalam hal ini teori analisa yang dapat
dipergunakan antara lain teori “Impression Management” yaitu bagaimana
mengukur tingkat responsif, tingkat responsbelity dan tingkat representatif
seseorang atau kelompok orang terhadap fenomena tertentu (Fred Luthans, 1995).
Sayangnya, dalam praktek dan tinjauan
teoritis untuk menentukan tolok ukur kualitas pelayanan publik tidak semudah
membalikkan telapak tangan. Richard M. Steers (1985) menyebutkan beberapa
faktor yang berkepentingan dalam upaya mengidentifikasi kualitas pelayanan
publik antara lain : variabel karakteristik organisasi, variabel karakteristik
lingkungan, variable karakteristik pekerja/aparat, variabel karakteristik
kebijaksanaan, dan variable parkatek-praktek manajemennya. Untuk melengkapi pendapat
ini, maka Sofian Effendi (1995) menyebutkan beberapa faktor lagi yang
menyebabkan rendahnya kualitas pelayanan publik (di Indonesia) antara lain
adanya:
(a) Konteks
monopolistik, dalam hal ini karena tidak adanya kompetisi dari penyelenggara
pelayanan publik, tidak ada dorongan yang kuat untuk meningkatkan jumlah,
kualitas maupun pemerataan pelayanan tersebut oleh pemerintah.
(b) Tekanan
dari lingkungan, dimana faktor lingkungan amat mempengaruhi kinerja
organisasi pelayanan dalam transaksi dan interaksinya antara lingkungan dengan
organisasi publik.
(c) Budaya
patrimonial, dimana budaya organisasi penyelenggara pelayanan publik di
Indonesia masih banyak terikat oleh tradisi-tradisi politik dan budaya
masyarakat setempat yang seringkali tidak kondusif dan melanggar peraturan-peraturan
yang telah ditentukan.
Untuk solusinya dalam menghadapi tantangan
dan kendala-kendala pelayanan publik sebagaimana disebutkan diatas, maka
diperlukan adanya langkah-langkah strategis antara lain : Pertama:
Merubah tekanan-tekanan sistem pemerintahan yang sifatnya sentralistik otoriter
menjadi sistem pemerintahan desentralistik demokratis; Kedua :
Membentuk sosiasi/perserikatan kerja
dalam pelayanan publik; Ketiga: Meningkatkan keterlibatan masyarakat,
baik dalam perumusan kebijakan pelayanan publik, proses pelaksanaan pelayanan
publik maupun dalam monitoring dan pengawasan pelaksanaan pelayanan publik; Keempat
: Adanya kesadaran perubahan sikap dan perilaku dari aparat birokrasi
pelayanan publik menuju model birokrasi yang lebih humanis (Post Weberian); Kelima
: Menyadari adanya pengaruh kuat perkembangan dan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi dalam menunjang efektivitas kualitas pelayanan
publik; Keenam : Pentingnya faktor aturan dan perundang-undangan
yang menjadi landasan kerja bagi aparat pelayanan publik; Ketujuh :
Pentingnya perhatian terhadap faktor pendapatan dan penghasilan (Wages and Salary)
yang dapat memenuhi kebutuhan minimum bagi aparat pelayanan publik; Kedelapan
: Pentingnya faktor keterampilan dan keahlian petugas pelayanan publik;
Kesembilan: Pentingnya faktor sarana phisik pelayanan
publik; Kesepuluh : Adanya saling pengertian dan pemahaman
bersama (mutual understanding) antara pihak aparat birokrasi pelayan publik dan
masyarakat yang memerlukan pelayanan untuk mematuhi peraturan dan
perundang-undangan yang berlaku khususnya dalam pelayanan publik.
III.
PENUTUP
Secara teoritis,
perubahan-perubahan komitmen dalam organisasi akan dikuti oleh kegiatan
pengembangan organisasi yang langsung maupun tidak langsung merubah pula
tradisi-tradisi budaya kerja organisasi yang sudah ada. Keterkaitan semacam ini
berhubungan erat dengan perubahan-perubahan struktural, fungsional, finansial,
personalia, teknikal maupun perubahan-perubahan di bidang fisikal (tata ruang
pelayanan kerja) yang memang diperlukan dalam proses perubahan tersebut.
Perubahan dalam organisasi (birokrasi)
apapun bentuknya jika tidak dipersiapkan dengan matang justru akan menimbulkan
dampak negatif (Dis-consequenses) daripada dampak positifnya (Eu-consequenses).
Oleh karena itu bagi administrator publik perubahan situasi dan kondisi yang
berkembang dewasa ini (sebut saja, perubahan struktur, fungsi, finansial,
personalia dan kultur organisasi dalam kasus otonomi daerah) harus diantisipasi
dan disiasati sedini mungkin secara cermat dan bijaksana (wait and see) sebelum
melakukan tindakan nyata. Sebab bisa jadi perubahan struktur, fungsi, finansial
dan personalia tidak diikuti oleh perubahan kulturnya; tetapi bisa jadi juga
perubahan struktur, fungsi, financial dan personalia yang dikuti oleh perubahan
kulturnya hanya bersifat sementara dan semu (pseudo) karena mengandung unsur
keterpaksaan dan dipaksa oleh tuntutan reformasi massa. Jika hal ini yang
terjadi, maka apa yang dimaksud dengan reformasi administrasi (birokrasi) akan
bersifat retorika belaka dan tidak autonomous (murni).
DAFTAR
PUSTAKA
Almond,
Grabiel A, 1960, The Politics of Developing Areas, Princeton
University Press.
Caiden,
Gerald, 1986, Public Administration, dalam MZ.Lawang, Pengantar Administrasi
Negara, Universitas Terbuka, Jakarta.
Effendi,
Sofian, 1993, Strategi Administrasi dan Pemerataan Akses pada Pelayanan
Publik Indonesia, Laporan Hasil Penelitian, Fisipol UGM, Yogyakarta.
Hardjosoekarto,
Sudarsono, 1994, Beberapa Perspektif Pelayanan Prima, Bisnis dan
Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Nomor 3/Volume II/September
1994, Universitas Indonesia.
Heady,
Ferrel and Sybil l. Stokes (ed), 1962, Papers in Comparative Public Administration,
The University of Michigan, Institute of Public Administration, Ann
Arbor, Michigan.
Kristiadi,JB,
Revitalisasi Birokrasi dalam Meningkatkan Pelayanan Prima, Bisnis
dan Birokrasi, Jurna Ilmu Administrasi dan Organisasi, Nomer 3/Volume II/September
1994, Universitas Indonesia.
Luthan,
Fred, 1995, Organizational Behavior, Mc.Graw Hill Interntional. Moenir,
H.AS
Osborne.D
and T.Gaebler, 1992, Reinventing Government; How The Enterpreneurial
Spirit is Transforming The Public Sector, Rending Mass: Addison-Wesley.* Tulisan masuk dalam Jurnal Ilmiah Badan Diklat Prov. Sulut
** Widyaiswara pada Badan Diklat Prov. Sulut
Tidak ada komentar:
Posting Komentar